GELORA.CO - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 dikritik Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (PUSaKO Unand), Feri Amsari.
Menurut Feri, putusan yang mengatur tentang partai politik yang sudah lolos parliamentary threshold (PT) tidak perlu melakukan verifikasi faktual, merupakan satu kesalahan para hakim MK.
"Aneh saja, Partai Garuda yang mengajukan judicial review agar semua parpol lama tidak diverifikasi, tapi MK malah memutuskan yang tidak ada hubungannya dengan permintaan uji materi," ujar Feri dikutip melalui Kantor Berita RMOL Jakarta, Senin (31/5).
Feri berpendapat, hakim MK dalam putusan terkait gugatan tersebut, nampak mencari-cari logika hukum yang didasarkan atas keinginannya, bukan pada keadilan
“Jadi, bagi saya aneh saja kalau MK kemudian memfokuskan secara istimewa kepada sembilan partai parlemen dan itu juga tanpa alasan yang detail. Ya kecuali soal perolehan suara itu,” ungkapnya.
Karena itu, muncul dugaan dari Feri soal dugaan publik terkait adanya transaksional terkait putusan dengan perpanjangan usia hakim, Amsari mendorong lembaga-lembaga pemilu dan masyarakat untuk melaporkannya ke Dewan Etik MK.
Lebih lanjut, Feri mengutip ungkapan dari Marco Kartodikromo dan Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan, “didik rakyat dengan pergerakan dan didiklah penguasa dengan perlawanan”.
“Jadi inilah perlawanan akademik untuk mempertanyakan keputusan-keputusan MK terkait kepemiluan," tuturnya.
"Mudah-mudahan hakim konstitusi dapat hidayah untuk kembali ke khitah sebagai pengawal konstitusi, bukan pengawal parlemen dengan sembilan naganya (partai)," demikian Feri Amsari.(RMOL)