GELORA.CO - Kasus pembunuhan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) dan pendeta Yeremia Zanambani mendapat sorotan Amerika (AS).
Hal ini dirilis dalam laporan resmi Kementerian Luar Negeri AS di situsnya pekan lalu.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, dari 10 pelanggaran yang disoroti AS harus dilihat mana yang jadi prioritas.
"Tentu kita harus melihat dan menginstrospeksinya dulu. Mana yang harus ditindaklanjuti," katanya di kanal pribadinya YouTube di , Selasa (18/5).
Kasus pembunuhan enam laskar FPI oleh kepolisian dan pendeta Yeremia Zanambani, pimpinan Gereja Kristen Evangelis Indonesia di Intan Jaya, Papua, harus diutamakan penyelesaiannya.
"Karena itu sudah menghilangkan nyawa warga negara. Jadi, tidak boleh dibiarkan," tegasnya.
Namun, dia mempertanyakan mengapa kasus ini belum juga dituntaskan. Penyelidikan kasus terbunuhnya laskar FPI dianggap berbelit-belit.
"Kami miris melihatnya. Belum kasus itu selesai kini malah Munarman ditangkap dan ditahan," ujar Refly.
Padahal, lanjutnya, pembunuhan enam orang laskar FPI itu termasuk unlawful killing. Ada enam nyawa anak bangsa yang melayang di luar ketentuan hukum. Namun, polisi malah sibuk mengurus kasus-kasus lain yang tidak penting.
"Sepertinya tidak ada gairah kepolisian menuntaskan kasus tersebut," ucapnya.
Seperti diketahui Amerika Serikat merilis laporan berbagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama di berbagai negara selama 2020, termasuk Indonesia.
Sebanyak 10 bentuk pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yang menjadi sorotan seperti, pembunuhan di luar hukum, pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Penodaan Agama, soal larangan beribadah, kesulitan izin membangun atau menggunakan tempat ibadah, penutupan tempat keagamaan.
Kemudian pemaksaan belajar agama di sekolah, penggunaan parameter keagamaan untuk naik jabatan, kesulitan akses layanan pemerintah, kesulitan menikah beda agama dan penerapan Syariah di Aceh.
Di sisi lain, alumni UGM dan UI ini juga berharap Amerika mampu berkata atas berbagai pelanggaran yang dilakukannya di dunia. (*)