GELORA.CO - Warga Gaza saat ini harus bergulat dengan kenyataan, menyaksikan kehancuran akibat aksi saling serang antara Israel dengan Hamas yang semakin membuat mereka menderita menatap masa depan.
Hamas adalah kelompok yang mengatur Jalur Gaza. Kelompok itu dianggap sebagai organisasi teroris oleh Israel dan Amerika Serikat.
Setelah menembakkan lebih dari 4.000 roket dan menewaskan 12 warga sipil, mereka merayakan gencatan senjata baru-baru ini sebagai sebuah kemenangan. Kelompok itu yakin konflik telah membantu memperkuat citranya sebagai pembela perjuangan Palestina.
Tetapi bagi rakyat Gaza, di mana serangan udara Israel menewaskan lebih dari 240 orang termasuk 66 anak-anak menurut laporan Kementerian Kesehatan Palestina, kehancuran itu tidak tampak seperti kemenangan.
Tidak ada perubahan pada blokade yang didukung Israel yang membuat warga Palestina di Gaza hampir tidak bisa melakukan apa-apa atau pergi ke mana-mana, menambah kelumpuhan ekonomi wilayah itu.
Israel juga mengklaim kemenangan setelah konflik baru-baru ini, dengan mengatakan pihaknya menewaskan lebih dari 200 militan Hamas.
Beberapa orang Israel, seperti Gonen Ben Itzhak, mantan perwira intelijen Israel berpangkat tinggi yang dipercaya mencegah lusinan serangan teroris Palestina, bersikap skeptis terhadap masa depan wilayah itu.
Ben Itzhak menyalahkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena memicu bentrokan yang memulai konflik 11 hari saat ia berjuang untuk kelangsungan politiknya.
"Tujuannya adalah untuk mempertahankan posisinya," kata Itzhak kepada CBS News.
Dia mengatakan bahwa Hamas adalah penjahat perang, tetapi tindakan Israel seperti membantu kelompok itu daripada menyakitinya, dengan memicu keputusasaan dan kemarahan rakyat Palestina.
"Saya berpikir, apa yang akan terjadi jika saya tinggal di Gaza? Saya kira setidaknya saya akan pergi ke perbatasan dan melempar batu, mungkin menjadi teroris, karena tidak ada yang memberi saya harapan. Tidak ada yang memberi saya masa depan," kata Ben Itzhak.
Efek jangka panjang juga dirasakan Afaf Abu Jaber dan keluarganya yang menggantungkan hidup dari Gaza International Hotel.
Gaza International Hotel dulunya adalah bisnis yang berkembang pesat, menyelenggarakan lusinan pernikahan dan pesta setiap tahun. Ini menjadi bagian penting dari komunitas yang secara finansial mendukungnya, termasuk keluarga Afaf, dan putra-putranya yang sudah dewasa.
Tetapi selama konflik baru-baru ini antara Israel dan Hamas pecah, serangan udara Israel menargetkan gedung bertingkat di sebelah Gaza International Hotel, yang menurut sumber lokal telah menampung beberapa kantor administrasi Hamas, bersama dengan apartemen sipil.
Saat peringatan serangan yang akan segera terjadi di gedung yang ditargetkan menyebar ke seluruh lingkungan, keluarga Afaf punya waktu untuk melarikan diri. Tetapi serangan udara di gedung yang berdekatan, yang meruntuhkan fondasinya, juga menghancurkan hotelnya, satu-satunya cara dia untuk menghidupi keluarganya.
"Saya tidak ingin menangis, tetapi ketika saya melihat ini, saya sangat menangis di dalam hati saya," kata Afaf kepada CBS News.
Dia mengaku kaget dan bingung karena tidak menyangka dengan apa yang terjadi pada tempay di mana dia menggantungkan mata pencaharian keluarganya.
"Saya tidak makan, saya tidak tidur, saya takut akan segalanya… Apakah itu benar? Apakah itu benar? Saya tidak tahu. Apakah itu benar atau tidak?" katanya, menunjuk ke reruntuhan bisnis keluarganya.(RMOL)