GELORA.CO - Inaq Senah digugat atas penjualan lahan kebun yang sempat dimusyawarahkan dengan anak-anaknya. Pada sidang lanjutan Senin lusa, nenek tujuh cucu itu berharap Yusriadi berubah pikiran dan kasus ini bisa berakhir damai.
DEDI SHOPAN SHOPIAN, Lombok Tengah, Jawa Pos
INAQ Senah berharap Senin lusa (24/5) menjadi hari saat doa-doanya terjawab. Hari di mana sesudahnya dia tak perlu lagi menempuh berkilo-kilometer perjalanan ke ruang sidang untuk berhadapan dengan anak kandung sendiri, Yusriadi.
Ya, lusa adalah sidang keempat gugatan Yusriadi kepada ibunya atas lahan kebun seluas 30 are (3.000 meter persegi). Gugatan yang mengoyak hati sang ibu sekaligus menyedot perhatian luas itu jauh melampaui Praya, ibu kota Lombok Tengah, tempat sidang tersebut dihelat.
Ada kabar, Yusriadi akan meminta maaf kepada sang ibu pada sidang Senin lusa itu. Meski, tanpa permintaan maaf itu pun, tak sedikit pun kasih sayang Inaq kepada anak keduanya tersebut berkurang.
”Saya terus berdoa di setiap salat lima waktu. Saya yakin dan percaya, Allah akan membolak-balikkan hati anak saya,” ujar Inaq Senah dalam bahasa Sasak ketika ditemui Lombok Post di kediamannya di Desa Lendang Are, Lombok Tengah, Selasa (18/5).
Kisah itu bermula ketika Inaq Senah menjual lahan kebun seluas 30 are sepeninggal sang suami, Amaq Mahrup, pada Oktober tahun lalu. Lahan tersebut laku Rp 260 juta.
Penjualan itu, kata Inaq Senah, dilakukan karena sang suami berwasiat demikian. Wasiat itu, kata perempuan 62 tahun tersebut, didengar tiga anak dan menantunya. Isinya, lahan kebun sebaiknya dijual. Lalu, uangnya digunakan untuk berangkat haji, membayar utang, dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Sementara, masih ada sisa lahan sawah seluas 30,5 are yang dibagikan kepada enam anaknya. Tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Anak laki-laki mendapatkan warisan masing-masing seluas 8,5 are. Sisanya, 5 are, diberikan kepada tiga anak perempuannya.
”Saat jual lahan kebun itu, kami kumpul musyawarah. Tidak ada keputusan sepihak dan lain sebagainya,” jelas Japriadi, anak keempat Inaq Senah, yang mendampingi sang ibu saat menemui Lombok Post.
Hasilnya, keluarga sepakat menjual lahan kebun tersebut. Namun, mereka menunggu harga jual lahan tinggi. Awalnya, kata Japriadi, lahan itu sempat ditawar Rp 195 juta. Uang yang ada disepakati untuk daftar haji ibunya dan badal haji almarhum Amaq Mahrup. Sementara, keenam anak, menantu, dan tujuh cucu sudah menerima hak yang lain.
Namun, dalam perjalanannya, Yusriadi merasa keberatan. Pria kelahiran 1972 tersebut meminta bagian 2 are dari lahan kebun yang dijual. Padahal, hasil pembayaran lahan itu juga sudah terpakai. ”Tanah kebun itu berawal dari 5 are. Kemudian, saya beli dari hasil keringat sendiri 25 are,” ungkap Inaq Senah.
Ironisnya, rumah Yusriadi, seperti juga rumah Japriadi, berdampingan dengan kediaman sang ibu yang ditempati bersama Ahmadi, si anak bungsu. Tiga anak perempuan Inaq Senah (Kariati, anak pertama; Ruminiati, anak kedua; dan Sumiati, anak kelima) tinggal bersama suami masing-masing. Jadi, praktis Yusriadi pasti tahu proses penjualan lahan tersebut sejak awal. Juga, wasiat dari sang bapak.
Ini bukan kasus pertama anak menggugat orang tua. Pada awal tahun ini, di Bandung, Jawa Barat, misalnya, Deden bersama sang istri, Nining, menggugat sang ayah, Koswara. Mereka menuntut Koswara memberi mereka Rp 3 miliar jika lahan seluas 4.000 meter persegi di Jalan A.H. Nasution, Bandung, dijual.
Saudara-saudara Yusriadi yang lain, kata Japriadi, sebenarnya sudah berusaha mengingatkannya, tapi tak membuahkan hasil. Padahal, saking dekatnya rumah mereka, jika berbincang agak keras di rumah Inaq Senah, pasti juga akan terdengar sampai ke rumah Yusriadi. Jadi, ironis sekali sebenarnya jika persoalan itu harus berakhir di pengadilan.
Mediasi di tingkat pemerintah desa, pemerintah kecamatan, hingga kepolisian sebenarnya sudah berkali-kali dijalankan. Namun, tak ada titik temu. Polsek Kopang sampai menolak laporan yang dimaksud.
Hanya, laporan kembali dilayangkan ke Polres Loteng dan berlanjut ke meja hijau. ”Saya hanya bisa berdoa, semoga anak saya sadar. Saya tidak pernah berdoa jelek kepada Allah. Saya doakan yang baik-baik,” tutur Inaq Senah sembari menundukkan kepala.
Di sisa hidupnya, keinginan nenek tujuh cucu itu hanya satu: ingin mewujudkan wasiat suaminya melihat Kakbah. Tidak ada yang lain.
Dari rumah sang ibu, Lombok Post melangkah menuju rumah sang anak, Yusriadi. Namun, yang bersangkutan tak berada di rumah ketika itu. Begitu pula sang istri. Hanya ada dua anak yang sedang asyik menonton televisi. ”Bapak sama ibu tidak ada di rumah,” ucap mereka.
Saat Yusriadi dihubungi melalui ponsel, yang menjawab Hijaiah, sang istri. ”Suami saya lupa bawa HP (handphone). Ini saya sedang cari ke mana dia pergi,” katanya.
Pada kasus di Bandung, Koswara dan Deden akhirnya sepakat berdamai. Kini, menjelang sidang keempat, Inaq berharap serupa. Sang anak berubah pikiran. Satu keluarga besar bisa kembali rukun. ”Pintu maaf selalu terbuka lebar untuk anak saya,” kata Inaq Senah.[jpc]