OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
ADA kekhawatiran bahwa konflik terakhir antara Israel dan Palestina sekarang sedang terjadi, yang bibitnya sudah disebar pada awal Ramadhan lalu, akan menjadi Intifada Ketiga. Gelagat ke arah sana, terlihat.
Kedua belah pihak sama-sama meningkatkan nafsu untuk saling menghancurkan.
Hingga kemarin tidak ada tanda-tanda kedua belah pihak bersedia untuk menghentikan konflik. PM Israel Benjamin Netanyahu bahkan bersumpah akan memperluas ofensifnya. Kata Netanyahu: Ini (serangan) akan butuh waktu. Hamas menjawab dengan menyerukan dilancarkannya intifada dalam skala penuh. Intifada terakhir-Intifada Kedua-dilakukan pada tahun 2000 dan berlangsung selama lima tahun, dengan korban jiwa hampir 5.000 orang.
Intifada adalah sebuah bentuk perlawanan baru dari rakyat Palestina; tidak dengan perang, tidak dengan teror, tetapi kerusuhan masyarakat sipil secara meluas dengan menggunakan senjata yang jarang dipakai yakni batu. Raphael Cohen-Almagor (1991) menyebut, Intifada membuka babak baru dalam sejarah konflik Israel-Palestina.
Intifada memiliki efek dramatis pada hubungan Israel-Palestina. Intifada Kedua, secara luas dipandang sebagai tanda berakhirnya proses perundingan damai era 1990-an. Selain itu, Intifada Kedua mengantarkan era baru yang lebih gelap dalam hubungan Israel-Palestina. Intifada Kedua dibarengi dengan serangan roket Hamas ke wilayah Israel.
Intifada pertama adalah serangkaian demonstrasi Palestina yang sebagian besar spontan, tindakan tanpa kekerasan seperti boikot massal dan orang Palestina yang menolak untuk bekerja di Israel, dan serangan (menggunakan batu, bom molotov, dan kadang-kadang senjata api) terhadap orang Israel. Kematian warga Palestina secara dramatis melebihi korban di Israel, karena militer Israel menanggapi protes dan serangan dengan kekuatan besar.
Pertama dan Kedua
Intifada memperkenalkan bentuk baru perjuangan: bukan perang, bukan terror, tetapi kerusuhan masyarakat sipil secara meluas dengan menggunaan senjata yang jarang dipakai: batu.
Awalnya, serangan Intifada itu kasar dan berteknologi rendah - lemparan batu, pembakaran ban, dan blokade jalan. Namun kemudian, bom molotov, granat tangan, dan bahan peledak ikut campur. Menjelang akhir Intifada Pertama, pembom bunuh diri digunakan. Orang-orang Palestina juga mendorong penggunaan anak-anak sebagai tameng manusia, untuk melindungi para pejuang mereka dari tembakan Israel. (eipa.eu.com).
Adalah pemimpin PLO masa itu, Yasser Arafat yang pertama kali menggunakan kata Intifada, yang berarti menggigil, demam menggigil. Secara umum juga diartikan sebagai perlawanan. Istilah itu mulai digunakan setelah terjadi perlawanan penghuni Kamp Pengungsi Jabelia (Jabalya), di Jalur Gaza, pada tanggal 9 Desember 1987.
Pada hari itu, sebagian besar penghuni kamp pengungsi tidak mau bekerja. Mereka malah turun ke jalan. Demonstrasi. Membakar ban, melemparkan batu dan bom Molotov ke arah polisi dan tentara Israel. Aksi itu dilakukan sebagai reaksi terhadap kecelakaan sehari sebelumnya di Gaza. Ketika itu, sebuah truk menabrak mobil bak terbuka yang dikemudikan orang Palestina. Empat orang tewas; 10 orang luka-luka.
Setelah tabrakan itu, muncul desas-desus bahwa tabrakan disengaja oleh Israel, sebagai balasan atas tewasnya Shlomo Sekel, orang Israel. Ia tewas dua hari sebelumnya ditikam seseorang di sebuah pasar di Gaza. Itulah yang menjadi pemicu pecahnya Intifada Pertama.
Di Jabalya, sebuah mobil patroli tentara Israel menembaki orang-orang Palestina yang demonstrasi. Akibat tembakan itu, seorang anak usia 17 tahun tewas dan 16 orang lainnya luka-luka. Keesokan harinya, pasukan terjun payung Israel dikirim ke Gaza untuk memadamkan kekerasan, dan kerusuhan menyebar ke Tepi Barat yang diduduki Israel (www.history.com).
Melihat itu, Yasser Arafat menyatakan bahwa yang terjadi hanya "kejang" karena demam yang menggigil (Intifada), yang akan berlangsung selama beberapa hari. Ternyata, Arafat salah. Pergolakan berkelanjutan.
Dalam dua tahun pertama Intifadah ada 60.243 aksi (rata-rata 110 hari); pelemparan 2.071 bom molotov. Lebih dari 50.000 orang Palestina ditangkap dan ditahan.
Menurut siaran Televisi BBC, 700 orang Palestina hingga September 1990, dibunuh (Panorama, 10 September 1990). Menurut laporan B’Tselem (organisasi non-pemerintah pembela hak-hak asasi manusia), Desember 1989, 593 orang Palestina dibunuh, 131 korban di antaranya berusia di bawah 16 tahun; 37.439 orang dilukai; 58 orang dideportasi (37 di Tepi Barat dan 21 di Gaza); 381 rumah dihancurkan.
Berdasarkan catatan B’Tselem, Intifada Pertama merenggut total 1.489 nyawa Palestina dan 185 nyawa Israel. Dari warga Palestina, 1.376 dibunuh oleh militer Israel, sedangkan 113 dibunuh oleh warga sipil Israel. Jumlah ini termasuk total 304 warga Palestina berusia di bawah 18 tahun. Di antara korban Israel, 94 adalah warga sipil yang dibunuh oleh warga Palestina, sementara 91 adalah tentara yang tewas dalam pertempuran.
Intifada Pertama secara resmi diakhiri dengan penandatanganan Deklarasi Prinsip (Oslo) pada 13 September 1993.
Tetapi, tujuh tahun kemudian pecah Intifada Kedua. Intifada Kedua, dipicu oleh kunjungan pemimpin Partai Likud berhaluan kanan, Ariel Sharon ke Temple Mount atau Haram esh-Sharif atau ada yang menyebut Kompleks Masjid Al Aqsa, 28 September 2000. Ia dikawal 1000 polisi dan tentara.
Menurut Pusat Hak-hak Asasi Manusia Palestina, di akhir Intifada Kedua, 2005, tercatat 4.973 penduduk sipil Palestina dibunuh. Di antara mereka, 1.262 anak-anak, 274 perempuan, dan 32 tenaga medis yang berusaha menolong warga sipil terluka.
Sebuah organisasi non-profit yang mendedikasikan kegiatan mereka untuk melindungi hak anak-anak yang berpusat di Swiss, “Defence for Children International”, lebih dari 10.000 anak terluka selama lima tahun kerusuhan, Intifada Kedua. Ribuan rumah dihancurkan.
Sebaliknya, penggunaan bom bunuh diri oleh Palestina, meningkat. Sampai September 2005, lebih dari 1.000 orang Israel tewas dan ribuan lainnya terluka karena serangan bom bunuh diri. Tetapi, selama periode yang sama, lebih dari 2.000 orang Palestina tewas.
Akhirnya dalam KTT Sharm el-Sheik (Februari 2005) antara PM Ariel Sharon dan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, menyepakati untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan dan menegaskan kembali komitmen ke Peta Jalan Damai. Meskipun, hingga sekarang tidak ada hasilnya.
Babak Baru
Bibit konflik yang terjadi sekarang ini sudah ditebar sebulan lalu, di Jerusalem. Ketika bulan Ramadhan mulai, otoritas Israel memblokir Gerbang Damaskus, akses ke Temple Mount (orang Yahudi) atau Haram esh-Sharif (Muslim), Kota Lama Jerusalem. Hanya diizinkan 10.000 jemaah yang boleh masuk ke sana.
Di tempat seluas 144.000 itu, berdiri Jami’ Al-Aqsha (bangunan berkubah biru) dan Qubbat As-Sakhrah atau Dome of the Rock atau Kubah Shakhrah (bangunan berkubah emas) dan berbagai situs lainnya. Orang sering pula menyebut Haram esh-Sharif sebagai Komplek Masjid Al Aqsa.
Kompleks tersebut diyakini berada di bagian timur Gunung Moria, tempat di mana Abraham (Yahudi, Kristen) atau Ibrahim (Islam) mengorbankan anaknya, Iskak (Yahudi, Kristen) atau Ismail (Islam). Itu berarti kompleks tersebut diyakini sebagai tempat suci bagi Yahudi dan Muslim.
Tindakan apparat keamanan memblokade dan menerapkan pembatasan, memancing terjadinya bentrokan antara warga Palestina dan polisi. Saat itu, terjadi suatu insiden yang menyebabkan eskalasi yang melibatkan pasukan keamanan Israel. Mereka menembakkan peluru karet, gas air mata, dan granat setrum pada jamaah yang berkumpul di masjid Al-Aqsa.
Penyebab lainnya adalah ancaman penggusuran keluarga Palestina dari Distrik Sheikh Jarrah, di pinggiran Jerusalem. Kelompok pemukim Yahudi telah mengajukan klaim mereka atas tanah dan properti di lingkungan Palestina, yang berbasis di Jerusalem Timur, ke Mahkamah Agung Israel.
Situasi semakin memanas dengan adanya pawai ribuan kaum ultra-nasionalis Israel pada 6 Mei, 2021. Pawai itu untuk merayakan “Hari Jerusalem,” yang menandai direbutnya Jerusalem Timur dari tangan Yordania pada Perang Enam Hari (1967).
Hamas yang menyatakan ingin mempertahankan Jerusalem segera melancarkan serangan roket ke wilayah Israel. Dan, pecahlah konflik baru antara Israel dan Palestina (Hamas). Sejak Senin(10-5-2021) hingga Jumat (14-5-2021), menurut Deutsche Welle (DW), lebih dari seribu roket ditembakkan dari Gaza ke wilayah Israel.
Sebagai jawabannya, Angkatan Udara Israel mengebomi wilayah Gaza. Akibatnya, Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, paling kurang 119 orang Palestina tewas, termasuk perempuan dan anak-anak. Sebaliknya, Israel "hanya" kehilangan sembilan warganya.
Kata PM Israel Benjamin Netanyahu: "Mereka menyerang ibukota kami, mereka meroket kota-kota kita. Mereka harus membayar tindakan itu dan akan terus membayarnya". Ancaman, Netanyahu itu tidak menggentarkan orang-orang Palestina. Sekalipun dari pengalaman yang sudah-sudah mereka selalu menanggung derita.
Gejolak dan konflik sekarang ini, terjadi setelah proses perdamaian nyaris terhenti, hingga membuat rakyat Palestina frustasi. Proses perdamaian seperti kurang mendapat perhatian. Pihak Israel sibuk dengan masalah dalam negerinya sendiri; demikian juga Palestina.
Sementara itu, negara-negara lain juga disibukkan oleh urusannya sendiri terutama pandemi Covid-19 dan kepentingan nasionalnya masing-masing. Misalnya, negara-negara Arab, mencapai kesepakatan normalisasi dengan Israel. Akibatnya, hampir lima juta warga Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem timur hidup dalam ketidakpastian di bawah cengkeraman kuku kolonialisme Israel.
Dalam situasi seperti itulah-skeptis terhadap proses perdamaian, semakin kaburnya masa depan solusi dua negara, ketidak-bersatuan para pemimpin Palestina, dan juga kurang perhatiannya negara-negara Arab pada mereka-sekarang ini pergolakan dan konflik terjadi. Bukan mustahil, hal tersebut akan memberikan semangat baru dalam melawan Israel untuk mewujudkan berdirinya Negara Palestina Merdeka, meskipun sangat tidak mudah, bila diusahakan lewat jalan senjata.