Oleh:M. Rizal Fadillah
BULAN April lalu Benteng Indonesia (Benin) entah ormas atau LSM atau organisasi lainnya mulai menggelindingkan dukungan tiga periode untuk jabatan Joko Widodo.
Artinya, kelompok ini mendorong adanya amandemen UUD 1945 untuk mengubah batasan masa jabatan Presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Jokowi pasti mengatakan itu bukan idenya bahkan akan menyatakan "tidak tahu menahu'. Seperti biasa.
Jika muncul kelompok lain yang melakukan hal serupa dikemudiannya, maka sudah pantas rakyat atau masyarakat mencurigai adanya ulah oknum pendukung Jokowi di sekitarnya yang memang serius memperjuangkan.
Jokowi pun mulai dan patut diduga berada di belakangnya. Operasi berbiaya tinggi untuk suatu sukses politik mulai dijalankan. Ungkapan bahwa Jokowi sendiri tidak ada niat untuk menjabat tiga periode mulai diragukan bahkan tidak dipercaya sama sekali.
Isu tiga periode telah lama mengemuka. Mengingat peta politik dan konstelasi kepentigan pragmatis dari partai politik maka isu ini bukan mustahil menjadi nyata.
Aspirasi rakyat mudah dibelokkan oleh penentu kebijakan politik di DPR atau MPR. Toh aspirasi rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu. Itupun dapat direkayasa.
Problem kepartaian kini adalah bahwa partai politik bukan berfungsi sebagai elemen penegak demokrasi melainkan justru menjadi perusak demokrasi.
Jika semakin gencar tekanan untuk amandemen UUD 1945 dengan muatan perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode, maka akan gencar juga kelompok atau aspirasi yang akan melakukan penolakan. Situasi politik semakin memanas dalam polarisasi dua kepentingan yang berposisi diametral.
Bukan mustahil muncul dan menguat pula aspirasi antitesis yang lebih menukik dan tajam, yaitu:
Pertama, persoalan amandemen UUD 1945 bukan sekedar perpanjangan jabatan yang dimasalahkan tetapi beberapa amandemen terdahulu juga dikritisi.
Isu politiknya adalah kembali ke UUD 1945 yang murni. MPR berdaulat kembali dan menjadi lembaga negara tertinggi. Presiden bertanggungjawab kepada MPR.
Kedua, jangankan Presiden yang bertambah masa jabatan menjadi tiga periode, untuk bertahan hingga 2024 saja berat. Bisa saja ada desakan agar Presiden cukup sampai disini.
Desakan konstitusional agar Presiden mundur atau dimundurkan. Rakyat melihat pada ketidakmampuan Presiden dan penyimpangan dalam pengelolaan negara.
Gelindingan dan perjuagan agar Presiden Jokowi menjabat tiga periode bukan tanpa tantangan dan risiko. Meski sepintas berkalkulasi mudah, akan tetapi praktik politik tidak semudah yang dikalkulasikan.
Sejarah telah sarat dengan catatan tentang perubahan politik yang cepat dan tak terduga.
(Pemerhati politik dan kebangsaan.)