OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
“INDIA sedang bergumul dengan maut.” Begitu, pesan pendek yang dikirimkan Buya Syafii Maarif, lewat WA, kemarin. “Dahsyat sekali!” tulis Buya lagi.
WA Buya tersebut menanggapi kiriman saya, Kredesial eps.18, ‘Tidak mudik bersama Prof Komaruddin Hidayat dan Ganjar Pranowo, di YouTube. Ini kali yang ketiga secara berturut-turut “Kredensial” menyoroti tsunami Covid-19 di India, yang benar-benar membuat trenyuh, bergidik melihat mayat ada di mana-mana, dan kremasi dilakukan di tempat-tempat terbuka.
Negeri yang para pemimpinnya pernah menyatakan berhasil mengalahkan Covid-19 setelah memberlakukan lockdown secara begitu ketat, kini kembali disapu gelombang tsunami Covid-19. Bahkan, menurut Deepak Baid dari Asosiasi Konsultan Medis di India, gelombang kedua selalu lebih membahayakan dan lebih kuat serta lebih ganas dibandingkan gelombang pertama (abc.net.au/news/2021-04-24).
Pada saat gelombang pertama serangan Covid-19 tahun lalu hingga Februari, kasus baru tertinggi terjadi pada pertengahan September yakni lebih dari 90.000 kasus per hari. Setelah itu, turun. Dan, pada Januari 2021, di bawah 15.000 kasus baru per hari. Maka itu, “proklamasi kemenangan” itu berkumandang.
Lalu, aktivitas sehari-hari kembali normal. Kegiatan politik dalam bentuk kampanye pemilu digelar. Perayaan keagamaan besar-besaran pun diselenggarakan. Pertandingan olah raga paling populer di negeri itu, kriket, digelar. Orang tidak lagi patuh menggunakan masker. Mereka seperti sudah lelah, setelah berbulan-bulan diharuskan memakai masker dan tidak boleh keluar rumah.
Apa yang terjadi? Tsunami Covid-19 gelombang kedua datang. Ini antara lain dipermudah karena hal-hal di atas. Tambahan lagi menurut P. Dileep Kumar (kevinmd.com. 3 Mei), tingkat vaksinasi rendah. Dengan populasi 1,3 miliar jiwa, baru 25 juta atau dua persen penduduk yang divaksinasi penuh. Sehingga belum terbangun herd immunity, kekebalan kelompok.
Selain itu juga karena munculnya varian virus corona baru, yang diidentifikasi di Afrika Selatan, Inggris, dan Brasil beredar di India. Varian baru lainnya juga telah dilaporkan dari India; adalah strain lokal.
Kondisi bertambah parah karena sistem perawatan kesehatan rapuh. Sistem perawatan kesehatan India sangat rapuh, meskipun memiliki beberapa rumah sakit berkelas dunia dan terkenal dengan wisata medis. Tingkat pengujian Covid rendah. Beberapa negara bagian menerapkan pelacakan kontak dan karantina ketat untuk mengendalikan infeksi selama gelombang pertama. Namun, gelombang kedua mengejutkan mereka. Rumah-rumah sakit kebanjiran pasien Covid-19.
Itulah sebabnya, Wapres AS Kamala Harris yang berdarah India mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah tragedi besar, dalam hal kehilangan nyawa. Tragis! Sangat memilukan” (telegraphindia.com/8 Mei).
Sejak gelombang kedua, mulai Maret 2021, kasus baru tiap hari terus naik. Selama beberapa hari terakhir tercatat lebih dari 4.00.000 kasus baru. Hingga tanggal 8 Mei, tercatat (menurut banyak pihak, banyak yang tidak tercatat) 21.892.676 kasus; yang meninggal 238.270 orang. Meski ada yang mengatakan, angka yang sesungguhnya jauh lebih besar.
Ketika India sedang bergumul melawan maut karena Covid-19, yang terjadi antara lain karena mengabaikan protokol kesehatan, terlalu dini berpuas diri, dan tak peduli, ada sementara orang di negeri ini yang juga tak ambil peduli.
Misalnya, tetap mudik meski sudah dilarang pemerintah. Larangan mudin dimaksudkan untuk memutus matarantai penularan Covid-19. Mereka tidak menyadari atau tak ambil peduli bahwa pertemuan dengan orang lain dapat menulari atau tertular Covid-19, seperti yang terjadi di India.
Tetapi, tetap saja banyak orang yang tak peduli dengan larangan itu dengan berbagai dalih dan alasan. Memang sulit untuk memahami kenekatan mereka yang mudik di tengah pandemi Covid-19 yang belum selesai ini. Bahkan, ada semacam kebanggaan kalau bisa menerobos larangan. Bangga kalau tidak patuh. Bangga kalau bisa mengakali atau melanggar hukum.
Berbagai macam cara dilakukan orang untuk bisa mudik dengan melanggar aturan. Ada yang menggunakan mobil ambulans. Ada yang naik truk yang ditutup terpal. Ada yang bersembunyi di tumpukan sayur. Ada yang melewati jalan desa-desa. Ada lagi yang ketika diperintahkan untuk balik lantas secara demonstratif berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Dan, banyak lagi modus untuk bisa lolos dari penyekatan jalan.
Mengapa kita menjadi bangsa yang suka melanggar aturan? Mengapa kita menjadi bangsa yang tidak bisa disiplin, tidak bisa patuh? Mengapa kita bangga dengan semua itu. Mengapa kita tidak malu?
Hal semacam itu, banyak terjadi di tengah masyarakat, mulai dari kalangan masyarakat biasa hingga pejabat, elite masyarakat. Patuh, disiplin, taat pada hukum, dan juga tertib, memang “mahal” di negeri ini. Kurang tegasnya penegakan aturan, hukum di negeri ini, memberikan andil. Dalam banyak kasus, aturan, hukum atau tata tertib bisa dikompromikan. Apalagi kalau sudah dikaitkan atau disangkut-sangkutkan dengan agama. Sehingga masyarakat pun memanfaatkannya.
Itulah pula yang memberikan sumbangan munculnya berbagai macam penyelewengan, mulai dari pungli hingga korupsi termasuk di antaranya. Banyak orang menganggap pungli—pungutan liar—adalah hal biasa. Dianggap biasa, karena sudah ada sejak dahulu dan dilakukan di mana-mana. Kita sangat mudah menemukan hal tersebut.
Misalnya, memberi ‘uang lelah’ atau ‘uang rokok’ yang dalam istilah halusnya ‘uang administrasi’.
Padahal jelas-jelas tertulis “Tidak dipungut biaya”. Di kalangan masyarakat bawah, ada juga tukang catut, calo, makelar, dan istilah-istilah lainnya yang maksudnya sama: menjual jasa. Tetapi, sebenarnya, itulah bentuk lain dari pungli. Sebab, jasa yang mereka “jual” itu sebenarnya tidak perlu, hanya menambah “rantai” birokrasi dan menambah biaya.
Adanya calo atau perantara di kantor-kantor pemerintah karena birokrasi seret atau dibuat seret. Lalu muncul anekdot: “kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?” Hal itu dilakukan untuk memanfaatkan peluang mendapatkan uang pelicin. Itu semua dianggap biasa.
Padahal, yang dianggap “biasa” itu tidak benar. “….harus membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang sudah biasa”, sekalipun itu atas nama tradisi. Kata Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, setelah mengetahui adanya pungli di daerahnya.
Tidak mudah “membiasakan yang benar.” Sebab, membiasakan yang benar membutuhkan keteladanan, keberanian, dan konsistensi tingkat tinggi. Sebaliknya, membenarkan yang biasa lebih mudah dilakukan karena tidak memerlukan proses pikir panjang. Nah, keteladanan itulah yang sekarang jarang.
Masyarakat yang terdidik semestinya tidak akan larut untuk turut membenarkan suatu perkara, meski hal itu dianggap biasa oleh masyarakatnya. Membiasakan yang benar tidak akan berjalan mulus tanpa adanya komitmen kepada yang benar.
Mereka yang “membiasakan yang benar” adalah orang baik yang ingin memperbaiki keadaan. “Membiasakan” juga menunjukkan proses yang harus dilewati, agar yang benar itu lambat laun menjadi kebiasaan; menjadi habitus. Artinya, menjadi karakter, watak, tabiat, perangai, tingkah-laku, sifat khas, dan kecenderungan.
Karakter atau akhlak adalah buah dari pembiasaan, sedangkan pembiasaan berasal dari pikiran yang dipraktikkan. Yang bisa berpikir untuk melakukan hal yang baik hanyalah manusia. Ini selaras dengan arti kata manusia. Kata manusia berasal dari kata manu (Sansekerta) atau mens (Latin) yang berarti berpikir, daya pikir, akal, budi, intelek, faham, dan sukma.
Itulah yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya, seperti binatang. Hanya saja, yang berakal budi itu, sekarang ini banyak yang sedang kehilangan akal dengan mengakali peraturan.
Kita hanya berharap moga-moga negeri ini tidak seperti India yang kini sedang “bergumul dengan maut”, karena keteledoran, ketidak-pedulian, keacuhan, keegoisan kita semua. Moga-moga negeri ini tidak harus merasakan Zaman Kalabendu.