GELORA.CO - Usulan PDI Perjuangan, yang disampaikan melalui Sekjen Hasto Kristiyanto, agar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kembali diikuti oleh 2 pasangan calon saja dinilai berpotensi memunculkan konflik horizontal dan vertikal di masyarakat.
"Sangat disayangkan pernyataan Hasto misleading dan naif," ucap Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (31/5).
"Terkesan kedaulatan dan rakyat untuk mendapatkan kualitas demokrasi dan hak mendapatkan kepemimpinan nasional yang potensial dianulir dengan hanya alasan waktu dan biaya," imbuhnya.
Menurut Satyo, Pilpres dan kontestasi pemilihan kepemimpinan nasional merupakan kemewahan untuk masyarakat.
"Janganlah nilainya didistorsi dengan alasan-alasan kaleng-kalengan," kata Satyo.
Karena, lanjut Satyo, sejak 2014 partai politik (parpol) mendesain Pilpres hanya dua paslon melalui "rekayasa" UU Pemilu dengan modus Threshold yang akhirnya menjadi "berhala" demokrasi.
"Akibatnya di setiap peristiwa Pemilu, parpol menjadi sangat individualis dan materialistis. Saat itu pula kedaulatan rakyat dieliminasi dengan tidak diberikan kesempatan untuk memilih para calon pemimpinnya dari yang terbaik," terang Satyo.
"Rakyat selalu 'dicekokin' calon pemimpin versi oligarki berdasarkan hanya selera dari parpol pengusung, dan lebih sering ditentukan hanya mengandalkan endorsement segelintir orang sehingga bersifat pragmatis dan oportunistik menafikan kemampuan teknikal, tidak kompeten, kapasitas yang minimal, dan tidak memiliki moral politik," jelasnya.
Selain itu, kata Satyo, Pilpres 2024 akan berpotensi terjadinya konflik jika hanya ada dua paslon.
"Jika pilpres hanya ada dua pasang calon maka potensi konflik horizontal dan vertikal antarbasis pendukung para calon akan lebih tinggi, seperti halnya pada saat Pilpres 2014 dan 2019," pungkas Satyo. []