GELORA.CO - Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan koordinasi bersama kementerian dan instansi terkait mengenai nasib Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Hasilnya, 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK dipastikan tidak bisa lagi bergabung ke KPK.
Buntut dari 51 pegawai KPK yang tak dapat bergabung lagi itu, ICW menilai pemberantasan korupsi telah menemui ajalnya. ICW menyoroti lembaga negara yang membahas nasib 75 pegawai KPK itu melanggar undang-undang.
"Pemberantasan korupsi akhirnya menemui ajalnya. Pada hari ini (kemarin, red) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) resmi mengumumkan nasib sejumlah pegawai pasca melewati tes wawasan kebangsaan (TWK). Setelah rapat lintas kementerian dan lembaga itu, diputuskan bahwa 51 pegawai KPK tetap dipaksa untuk keluar dari lembaga antirasuah," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (26/5/2021).
"Mencermati hasil kesepakatan tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, sejumlah lembaga negara yang mengikuti proses pembahasan hari ini telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan," imbuhnya.
Sebab, menurut Kurnia, sejak awal, penyelenggaraan TWK terhadap pegawai KPK bersifat ilegal. Hal itu karena TWK tidak diatur dalam UU KPK No 19/2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih status kepegawaian KPK. TWK hanya diatur dalam pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021).
Selain itu, putusan mengeluarkan 51 pegawai KPK secara terang benderang menghiraukan putusan Mahkamah Konstitusi. MK dalam putusannya mengatur bahwa pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-hak pegawai.
"Jika tes tersebut dimaknai dengan metode seleksi, bukankah hal itu menimbulkan dampak kerugian bagi pegawai KPK? Lagi pula mesti dipahami bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat serta tidak bisa ditafsirkan lain," ujarnya.
Kemudian ICW juga menyoroti substansi pertanyaan TWK yang dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan TWK juga menyentuh ranah privasi warga negara.
"Dapat dibayangkan, perihal kehidupan pribadi, pandangan politik, dan agama turut dijadikan dasar penilaian. Bahkan proses wawancara juga dilakukan secara tidak profesional.
Hal itu dapat merujuk pada fakta bahwa panitia penyelenggara tidak menyediakan alat rekam saat dilakukan proses tanya-jawab dengan pegawai KPK berlangsung," ujarnya.
Lebih lanjut, kebijakan pimpinan KPK memasukkan TWK dalam Peraturan Perkom 1/2021 dinilai telah melanggar kode etik. Merujuk pada Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat banyak ketentuan yang bertentangan. Mulai poin Integritas, Sinergi, Keadilan, Profesionalisme, dan Kepemimpinan.
Berlandaskan pada pelanggaran itu, beberapa waktu lalu sejumlah pegawai KPK melaporkan seluruh pimpinan KPK ke Dewan Pengawas.
Kelima, Kurnia menilai konsep TWK terlihat ahistoris dengan kondisi sebenarnya. Beberapa waktu terakhir sejumlah pegawai KPK menyebutkan rangkaian seleksi 'Indonesia Memanggil' dan sejumlah pelatihan yang didapatkan setelah terpilih menjadi pegawai lembaga antirasuah itu. Dalam penjelasan ditemukan fakta bahwa saat terpilih menjadi pegawai, mereka turut melewati program induksi selama 48 hari, yang di dalamnya juga terdapat materi wawasan kebangsaan dan bela negara.
"Jadi TWK itu jelas tidak dibutuhkan lagi untuk diterapkan, apalagi dijadikan batu uji untuk menilai wawasan kebangsaan pegawai KPK," ujarnya.
Selanjutnya ICW menilai pernyataan pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya pembangkangan terhadap perintah Presiden Joko Widodo. Diketahui, Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK.
"Namun, faktanya, dua lembaga itu malah menganggap pernyataan Presiden sebagai angin lalu semata," ungkapnya.
Padahal, dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Selain itu, akibat perubahan UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
"Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan kebijakan administrasi yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden," ungkapnya.
Ketujuh, ICW menilai putusan memberhentikan sejumlah pegawai KPK terkesan terburu-buru tanpa didahului dengan melakukan mekanisme evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan TWK. Lebih lanjut sejumlah elemen dan organisasi banyak mengkaji keabsahan pemberhentian pegawai KPK.
Misalnya mulai masyarakat sipil, organisasi keagamaan, mantan pimpinan KPK, bahkan puluhan guru besar telah mengeluarkan sikap penolakan penyelenggaraan TWK dan hasilnya dengan berbagai alasan yang logis dan berdasar hukum. Untuk menegaskan berbagai pelanggaran, sejumlah pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK juga mendatangi beberapa lembaga negara, di antaranya Ombudsman dalam konteks perbuatan maladminstrasi dan Komnas HAM.
Kedelapan, patut diduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan pimpinan KPK untuk memberhentikan pegawai-pegawai KPK. Adapun isu yang 'dilabelkan' terhadap pegawai KPK misalnya isu Taliban.
"Indikasi ini menguat tatkala para pendengung (buzzer) memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak yang mengkritisi TWK. Namun isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak pernah bisa menunjukkan bukti konkret, misalnya tuduhan Taliban dan radikalisme di KPK," imbuhnya.
Atas sejumlah permasalahan itu, Indonesia Corruption Watch mendesak Dewan Pengawas segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh pimpinan KPK terkait pemberhentian pegawai dalam tes wawasan kebangsaan. Selain itu, ICW meminta Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK.
"Mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara," imbuhnya.(dtk)