Oleh:Ubedilah Badrun
PERLU mengumpulkan data untuk membuat kesimpulan judul tulisan ini. Dua puluh tiga tahun reformasi telah berlalu, rakyat masih sengsara, tetapi penguasa berpesta. Rakyat menangis ditengah wajah kuasa yang terlihat bengis.
Mungkin ada yang terhenyak dengan narasi itu. Bahkan mungkin merespons dengan sentimen, menyerang personal dan nyinyir.
Respons semacam itu dapat dipahami, mungkin karena belum mengerti bahwa kritik adalah gizi demokrasi yang bisa membuat pemerintah introspeksi dan bisa membuat demokrasi lebih maju.
Mungkin juga belum mengerti tentang satu dimensi penting bahwa tanggungjawab intelektual itu membebaskan manusia dari penderitaan (Moh.Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia, LP3ES,1983).
Fungsi itu yang sesungguhnya sedang dijalankan akademisi maupun kelompok oposisi. Dalam bahasa Antonio Gramsci fungsi intelektual semacam itu disebut intelektual organik (Antonio Gramsci, Prison Notebooks, 1970).
Bulan Mei, dua puluh tiga tahun lalu intelektual organik di Indonesia menjadi kunci penting bagi hadirnya gerakan reformasi 1998.
Pada momentum 23 tahun reformasi ini mari kita berpikir sejenak mengurai data satu persatu meski tidak semuanya dibeberkan. Sebab artikel singkat ini tidak mungkin menampung seluruh derita rakyat.
Rakyat Sengsara
Mengapa rakyat sengsara? Kita mulai dari data turunya angka pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal I-2020 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,97 persen. Pertumbuhan tersebut mengalami kontraksi 2,41 persen dibandingkan triwulan IV 2019 yang tercatat 4,97 persen.
Itu maknanya konsumsi, investasi, maupun belanja pemerintah mengalami penurunan. Kondisi ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia mengalami penurunan daya beli. Bahkan, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) merosot tajam. Dari sini sesungguhnya sudah mulai terlihat derita rakyat.
Itu kuartal I awal tahun 2020 dimana angka pertumbuhan ekonomi turun drastis tetapi belum minus. Faktanya kemudian dari tahun 2020 hingga kuartal I tahun 2021 ini angka pertumbuhan ekonomi kita berturut-turut minus. Indonesia memasuki jurang resesi ekonomi yang dahsyat.
Ini data angka pertumbuhan ekonominya. Minus 5,32 persen pada kwartal II , minus 3,49 persen pada kwartal III, minus 2,19 persen pada kwartal IV tahun 2020, dan di kwartal I tahun 2021 ini angka pertumbuhan ekonominya tetap minus 0,74 persen.
Bayangkan empat kwartal berturut-turut minus. Itu artinya Indonesia berada di jurang resesi ekonomi berkepanjangan.
Indonesia belum mampu keluar dari resesi ekonomi. Kalah sama India yang sudah keluar dari resesi ekonomi dengan angka pertumbuhan positif 0,4 persen, bahkan Indonesia kalah dengan Vietnam yang kini angka pertumbuhan ekonominya positif 4,48 persen. Indonesia tak kunjung pulih. Rakyat masih terus sengsara.
Ada sekitar 10 juta pengangguran. Angka itu mengacu pada data BPS yang naik nyaris 3 juta orang dari jumlah pengangguran 2019 sebanyak 7,1 juta orang.
Namun, data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan jumlah pengangguran Indonesia pada 2021 meningkat antara 10,7 sampai 12,7 juta orang.
Itu jumlah pengangguran, jangan tanya jumlah orang miskin? Datanya makin menunjukan tingkat kesengsaraan rakyat yang terus bertambah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Tahun 2021 ini diperkirakan angka kemiskinan masih terus bertambah. Itu data resmi negara, namun secara empirik saat ini angkanya bisa lebih dari itu. Ya, rakyat sengsara.
Penguasa Berpesta
Jika rakyat sengsara, apakah penguasa ikut sengsara? Tidak! Mereka berpesta. Sebab, selain mereka dapet honor lain lain, mereka masih menikmati gajih secara utuh dari pajak rakyat.
Lebih miris korupsi penguasa masih sering kita dengar. Bayangkan ditengah rakyat menderita, tega-teganya uang untuk bantuan sosial (Bansos) rakyat miskin dikorupsi. Angka korupsinya dahsyat pula hingga triliunan rupiah.
Tidak hanya Bansos ternyata korupsi juga terjadi di sektor pajak, alutsista, dan lain-lain. Puluhan hingga ratusan milyar dikorupsi, bahkan secara total diduga kuat angka korupsinya mencapai triliyunan rupiah juga.
Ya, penguasa berpesta dengan kue korupsi. Kini ditengarai sedang terjadi semacam 'bancakan uang APBN' untuk modal pemilu 2024. Ya, penguasa pesta uang APBN. Rakyat tak usah diperhatikan. "Persetan Rakyat !" Kata anggota DPR versi DPR-Musikal yang viral itu.
Terjadinya korupsi yang terus-menerus ini menyebabkan indek persepsi korupsi (corruption perception Index) Indonesia sangat buruk, skornya 37 (Transparency International,2020). Itu artinya rapotnya masih merah karena skor 37 dari rentang 0 sampai 100.
Kini rezim makin berpesta karena UU KPK versi revisi sudah disahkan, upaya 51 Guru Besar yang meminta Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga ditolak, dan puluhan penyidik KPK yang berintegritas kini tersingkir melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan yang janggal itu.
KPK dan MK dua lembaga yang dibangun dengan darah dan nyawa Reformasi kini lunglai terpuruk di titik nadir. Cendekiawan Yudi Latif disebuah media nasional menyebut ini sebagai Penghancuran Pencapaian (6/5/2021).
Ya penguasa berpesta, sebab koruptor yang merugikan negara puluhan triliun rupiah dibebaskan. Sejak UU KPK yang baru disahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah KPK mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) untuk koruptor BLBI yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu.
Itu permulaan, sangat mungkin akan ada SP3 berikutnya. Para penguasa bisa berkesimpulan korupsi tidak apa-apa nanti juga bisa di SP3. Itu narasi pesta para penguasa. Miris dan menyakitkan.
Agenda reformasi untuk memberantas korupsi makin hancur lebur. Mereka berpesta ditengah remuknya harapan rakyat. Berpesta di tengah rakyat sengsara!
(Penulis adalah Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta)