Oleh:Wina Armada Sukardi
DALAM majalah Tempo edisi terbaru, walaupun secuil, disebut sebagian tanah di daerah Cikidang, Jawa Barat, untuk pembangunan Bukit Algoritma, Cikidang Hunting Resor dll, sekitar 900 ha (yang sebenarnya 660 ha) diperoleh dari bekas tanah kakek kami, R. H. Didi Sukardi, yang dulu seorang pejuang dan taat hukum.
Ini dapat dibuktikan waktu land reform dahulu. Pada zaman itu para pemilik tanah diminta mengembalikan tanah-tanah yang luas milik merek.
Kakek kami, kala itu dengan sukarela memberikan tanah-tanah miliknya ke pemerintah tanpa ganti rugi apapun, padahal banyak pemilik tanah yang lain justeru tidak melakukannya, memanipulasi data untuk menghindari kewajiban itu, atau menyembunyikannya, dan mungkin sampai sekarang masih dinikmati oleh anak keturunannya.
Sedangkan kakek kami, karena kejujuran dan pengorbanannya kepada negara sebagai pejuang, hampir tidak memberikan sesuatu kekayaan harta benda yang signifikan kepada anak cucu-cucu keturunannya. Padahal dahulu kakek kami boleh dikatakan sebagai tuan tanah, kendati bukan kelas kakap.
Kakek punya tanah di Pasir Hayam , Cianjur dalam ukuran hektaran. Demkian pula almarhum punya perkebunan teh di Gunung Rosa, Lampegan, Kambupaten, Cianjur.
Belum lagi tanah di Pelabuhan Ratu. Di daerah Baros, Sukabumi juga punya sawah sangat luas. Ada juga tanah di Cikidang ratusan hektar.
Di belakang rumah di Jalan R.H. Didi Sukardi juga ada aset sawah-sawah mikiknya (kalau yang ini sudah dijual secara resmi oleh anak-anaknya). Sedangkan nenek kami, sebenarnya, jauh lebih kaya dari kakek.
Nenek punya perkebunan karet Malinggut di Cibadak ribuan ha. Perkebonan teh di Gunung Rosa. Tak hanya itu, keluarga nenek juga punya kebon teh di daerah puncak sangat luas.
Tapi demi patuh kepada hukum dan untuk membantu negara kala itu, hampir semua tanah-tanah milik kakek dan nenek diserahkan kepada negara. Kini perkebunan teh eks milik keluarga nenek di daerah Puncak sudah menjadi milik perkebunan BUMN.
Lantas sebagian kecil lagi telah dijual anak-anaknya. Adapun yang kini tersisa hanyalah rumah besar di Jalan R.H. Didi Sukrdi. Itu pun sudah diwariskan kepasa anak-anak perempuannya.
Kepada anak cucu keturunan, kakek kami menanamkan, nilai-nilai kejuangan untuk bangsa dan negara, ilmu pengetahuan, persaudaraan serta kebahagian, jauh lebih penting ketimbang sekedar harta benda.
Disinilah garis merah keluarga kami. Kendati pun Sang Kakek tidak mewarisi harta benda ke anak dan keturunan, tapi sebagian besar anak keturunan kakek relatif sukses.
Tercatat, Eddy Sukardi, anak lelaki tertua kakek, memimpin Perang Kokosan, di daerah Cibadak, Jawa Barat, perang terbesar Indonesia melawan penjajah. Perang inilah yang banyak dicatat dan dijadikan refrensi perang di Indonesia dalam literatur Barat.
Lalu ada Hartini Sukardi yang kawin dengan Hartarto , yang belakangan menjadi menteri beberapa priode di zaman Orde Baru. Padahal anak yang lain, Wahdiat Sukardi l, pada saat yang bersamaan, justeru jadi salah satu “pentolan” Petisi 50 yang melawan Pak Harto.
Salah satu cucu kakek, Airlangga Hartarto, anak Hartini-Hartarto, kini jadi Menko Perekonomian dan ketua unum Golkar.
Cucu lainnya, Laksamana Sukardi, pernah jadi banker, politikus kenamaan dan lebih dahulu jadi Meneg BUMN.
Boleh juga disebut, salah satu mantu kakek kami, Day Sukardi, tercatat sebagai salah satu dari pilot perempuan pertama di Indonesia. Dunia digantara yang kemudian dilanjutkan oleh Samudra Sukardi, cucu kakek lainnya.
Apapun profesinya anak cucu keturunan kakek, semua keluarga besar, yang sudah melahirkan generasi kelima, hidup rukun dan damai. Satu ciri yang khas keluarga kami yang diperoleh dari kakek: rata-rata punya jiwa nasionalisme yang tinggi.
“Warisan” nilai-nilai kejuangan kepada bangsa dan negara menjadi modal berharga ketimbang warisan harta benda, seperti kata Kakek, terbukti sudah.
Boleh jadi, apabila anak cucu keturunan dahulu oleh kakek kami diguyur warisan harta benda, tidak bakal “sesukses” atau “setabah” sekarang.
Apapun, kami keluarga besar R.H. Didi Sukardi, senantiasa bersyukur.
(Wartawan Senior)