GELORA.CO - Aspirasi langsung dari masyarakat Papua wajib didengar guna menghindari eskalasi kekerasan yang berpotensi meningkat seiring dengan pembahasan RUU Otsus Papua.
Begitu kata anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera menanggapi sepekan terakhir teror ke masyarakat sipil Papua yang terus terjadi. Teranyar, teror menyasar dua orang guru yang tewas ditembak oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB).
“Jika ingin menuju model resolusi konflik seperti perundingan Helsinki (2005), pemerintah mesti melihat persoalan Papua dengan paradigma dan perspektif yang lebih demokratis. Penanganan keamanan tetap dalam bingkai kerangka hukum yang proporsional,” tuturnya lewat akun Twitter pribadi, Kamis (15/4).
Hanya saja, sambung Mardani, diperlukan proses dialog untuk mencapai hal tersebut. Ruang komunikasi dengan berbagai stakeholder yang strategis di Papua harus dibangun.
“Kelompok-kelompok tersebut jadikan satu ruang oleh pemerintah untuk duduk bersama, lebih baik, lebih inklusif dan lebih demokratis. Itu cara terbaik penyelesaiannya,” tegasnya.
Menurutnya, faktor tata kelola Otsus Papua turut menjadi persoalan dalam kasus ini. Sebab, dampak dari 20 tahun penerapan Otsus Papua belum terasa. Terlebih mekanisme pertanggungjawaban dana tersebut tidak diatur secara tegas.
Imbasnya, manfaat dana tidak terlihat dan tidak bisa dibedakan dengan dana APBD. Publik tidak tahu dana untuk pendidikan, ekonomi, kesehatan selama ini apakah berasal dari dana otsus atau berasal dari APBD.
“Harus ada sistem pemantauan anggaran yang transparan agar monitoring alokasi anggaran bisa berjalan, sekaligus mencegah praktik penyelewengan,” sambung politisi PKS itu.
Menurutnya, masyarakat Papua kini skeptis dan lelah terhadap kelanjutan Otsus Papua karena dianggap tidak mengubah keadaan.
“Jangan sampai ada anggapan pembiaran yang dilakukan pemerintah dalam pengelolaan dana otsus. Kebijakan ini mesti dipertahankan dengan syarat perbaikan kesejahteraan yang rill, bukan semu,” demikian Mardani.[rmol]