GELORA.CO - Surat-surat terkait penolakan terhadap rencana menggelar Pilkada Aceh 2022 dinilai menyiratkan sesuatu yang sengaja disimpan.
Menurut pakar politik Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail, untuk persoalan besar seperti Pilkada, seharusnya surat itu ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri.
"Jadi seolah-olah ada sesuatu yang disimpan," ucap Mawardi Ismail kepada Kantor Berita RMOLAceh, Sabtu (24/4).
Mawardi mengatakan, Ketua DPR Aceh dan sejumlah tokoh politik Aceh telah menemui Menkopolhukam Mahfud MD. Berdasarkan informasi yang diterima, kata Mawardi, dalam pertemuan tersebut Dirjen Otda, Akmal Malik, juga hadir. Akmal mengatakan bahwa Kemendagri siap apapun yang diputuskan oleh pemerintah.
Kemudian, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan akan segera membuat rapat koordinasi dengan Kemendagri, KPU, Komisi II DPR-RI untuk segera mengambil keputusan terkait Pilkada Aceh ini.
"Artinya masih terbuka peluang untuk adanya keputusan yang berbeda dan kalau andaikata keputusan yang diambil itu berbeda Kemendagri tidak akan kehilangan muka, karena Menterinya bisa membatalkan surat Dirjen," ujarnya.
"Feeling saya seperti itu, jadi makanya saya sering mengatakan surat itu tegas tapi tidak begitu tegas, masih normatif saja, yang masih terbuka peluang untuk dianulir dengan pejabat yang diatasnya lagi," sambungnya.
Mawardi melihat proses diplomasi yang dilakukan oleh DPR Aceh untuk meyakinkan pemerintah pusat masih lemah dan belum berhasil. Untuk itu, Mawardi menyarankan DPR Aceh introspeksi diri di mana letak kelemahan diplomasi itu.
Menurut Mawardi, selama ini pemerintah selalu berpegang hanya kepada aspek yuridisnya padahal soal pilkada itu tidak semata-mata aspek yuridis, juga ada aspek politisnya, serta aspek birokratisnya. Padahal, kalau aspek yuridis berpegang pada UUPA itu sudah selesai.
"Jadi sekarang ini kita harus membangun argumentasi dari aspek-aspek lain, dari aspek politis. Secara politis apa untung ruginya pilkada dilaksanakan 2022 dan kalau dilaksanakan 2024," tuturnya.
Kemudian juga harus diperhatikan dari segi sosiologis lalu dari segi birokratis, apa untung ruginya kalau pejabat (pj) itu sampai dua tahun bagi Aceh. Nah hal-hal yang seperti ini dikemas dengan baik lalu kemudian dalam pertemuan-pertemuan dengan pejabat pusat ini yang disampaikan.
"Jadi bukan berarti bahwa mengeyampingkan UUPA, UUPA itu sudah klir. Yang sekarang yang penting adalah yang mendukung itu. Jadi harus argumentasi didepan pressure dan emosi di belakanglah. Menurut saya ini yang harus diperhatikan oleh teman-teman di DPRA," papar Mawardi.
Mawardi juga tak menampik, Gubernur Aceh Nova Iriansyah memimpin rombongan elite politik Aceh agar berjumpa dengan Mendagri untuk melobi Pilkada Aceh 2022. Selain itu, lanjut Mawardi, dalam berdiplomasi itu ada seninya, jadi cerdas dalam komunikasi politik itu adalah kewajiban.
"Mereka sudah pergi kemana-mana tapi jawabannya selalu dimana-mana kita kihat secara pribadi kami mendukung (Pilkada Aceh 2022). Nah sekarang yang kita perlukan bukan dukungan pribadi, tapi dukungan institusi," tutupnya.(RMOL)