GELORA.CO - Pertama kalinya dalam sejarah kisruh partai politik di era Presiden Joko Widodo, ada keterlibatan orang lingkaran Istana yang jelas-jelas nongol sebagai aktornya.
Yakni, Sosok Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Jendral TNI (Purn) Moeldoko, yang terlibat dalam kegiatan yang diklaim sebagai Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Sibolangit, Deliserdang, Sumatera Utara, awal Maret lalu.
Mantan Panglima TNI ini didaulat sebagai Ketua Umum oleh mayoritas peserta kegiatan tersebut, melalui mekanisme pemilihan voting berdiri.
Tak berselang lama dari kegiatan ini, Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurthi Yudhoyono, angkat bicara terkait pelaksanaan KLB Deliserdang itu, dan menegaskan keterpilihan Moeldoko di kegiatan itu abal-abal karena tidak sesuai dengan AD/ART partai.
Namun, ada anggapan keterlibatan Moeldoko dalam kisruh yang berawal dari pertemuan mantan kader dan kader pembelot Partai Demokrat dengan Kepala KSP itu sebagai settingan untuk meraup simpati masyarakat dan meraup popularitas jelang Pemilu 2024.
Lantas, apakah kisruh Partai Demokrat ini settingan atau murni upaya pengambilalihan kepemimpinan parpol berlambang mercy ini dari ketua umumnya, Agus Harimurthi Yudhoyono, yang dipilih secara sah melalui Kongres V di Jakarta pada Maret 2020?
Menurut Direktur Parameter Politik, Adi Prayitno, parpol yang sudah dua kali periode pemilihan menang di bawah kepemimpinan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2014, adalah murni pendongkelan.
"Ini murni mau ambil alih. Terlampau beresiko untuk menaikan Demokrat dengan hanya settingan semacam ini," ujar Adi Prayitno saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (10/4).
KLB Deliserdang yang sudah terlaksana dan melibatkan Kepala KSP Moeldoko, menurut dosen politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, merupakan satu bentuk penegasan dari upaya pengambilalihan Partai Demokrat.
"Gimana mau settingan? KLB sudah terjadi di Deliserdang dan sudah mengajukan keabsahan ke Kemenkumham sekalipun mereka kalah. Tapi kini melawan di Pengadilan. Kalaupun kalah di pengadilan mereka akan banding di kasasi. Kalau pun toh ada kasasi nanti juga melawan diputusan sela," papar Adi.
"Ini enggak main-main. Kalau main-main enggak bakal segini heboh. Terlampau beresiko ongkos yang dkeluarkan kalau ini settingan untuk menaikan elektabilitas," sambungnya.
Terlepas dari perdebatan settingan atau bukan, Adi menilai Moeldoko sebagai satu aktor eksternal yang terlibat dalam kisruh parpol ini harus bertangungjawab secara moril. Paling tidak, dia memenuhi tuntutan publik untuk mundur dari jabatannya sebagai Kepala KSP.
"Kalau yang menjadi Ketum (Demokrat versi KLB Deliserdang) itu Marzuki Ali, Darmizal atau Jhoni Allen ya biasa-biasa saja, karena mereka orang dalam. Tapi karena ada orang yang baru di Demokratkan, kebetulan kepala KSP, jadi segala atribut yang melekat di Pak Moeldoko ya dibegitukan," ucap Adi.
"Jadi, tidak ada alasan lagi bagi Moeldoko untuk bertahan, akan di desak terus supaya mundur," tandasnya.[rmol]