"JANGAN pilih calon yang enggak qunut". Ini politik identitas bukan? "Jangan pilih calon yang enggak ziarah kubur?". Ini jelas narasi politik identitas. Hal ini lumrah terjadi di kampung saya Jawa Tengah, dan tempat saya pernah kos di Jawa Timur.
Lucunya, para politisi yang teriak seperti inilah yang sering mempersoalkan politik identitas. Satu sisi mereka mempraktikkan politik identitas, di sisi lain mereka mengutuknya. Semacam ada kemunafikan dalam diri para politisi ini.
Preferensi sosiologis adalah fakta yang ada dalam masyarakat. Dan seringkali gaungnya membesar ketika musim pemilihan umum. Ini natural, dan berlaku di sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia. Orang NU pilih calon dari NU.
Di sini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selalu dapat limpahan suara terbanyak dari warga NU.
Orang Muhammadiyah pilih calon dari Muhammadiyah. Partai Amanat Nasional (PAN) menikmatinya.
Orang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pilih kader HMI, orang Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) pilih kader GMNI, begitu juga Ansor dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
"Al-ijtima' dharuriyun linauil insan", kata Ibnu Khaldun.
Solidaritas adalah keniscayaan sosial. Apakah berbentuk mekanik atau organik, solidaritas sosial akan selalu ada di sepanjang sejarah, kata Emile Durkheim.
Itu baru bicara ormas. Belum lagi bicara etnis. Terutama saat pilkada, "putra daerah" seringkali menjadi isu utama dalam ritual demokrasi lima tahunan. Setiap daerah merasa nyaman dipilih oleh putra daerahnya. Satu etnis, satu budaya, dan satu bahasa.
Enggak usah heran jika umat Islam pilih calon muslim seperti yang terjadi di wilayah Jawa, umat Kristiani pilih calon Kristen, seperti yang terjadi di Papua dan Manado, umat Hindu pilih calon dari Hindu sebagaimana yang terjadi di Bali.
Selama ini, pilihan politik semacam ini dianggap wajar dan diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kewajaran sosiologis.
Solidaritas sosial akan terbentuk secara natural sesuai ikatan dan kekuatan hubungan yang terjadi di kelompok tersebut. Bisa agama, etnis, organisasi atau profesi.
Mereka yang menyoal politik identitas umumnya karena tak memiliki identitas yang kuat. Atau berada dalam kelompok minoritas yang tak bisa memberi dukungan suara signifikan untuk menang dalam pemilihan.
Cara efektif untuk meruntuhkan kekuatan lawan adalah dengan mengutuk politik identitas, agar solidaritas kelompok pendukung lawan bisa beralih suaranya. Disini, isu politik identitas dimainkan. Dan yang paling sensitif dari isu identitas itu adalah agama, kemudian etnis.
Politik identitas bukan harga mati, kemutlakan politik, dan satu-satunya penjamin kemenangan. Banyak kasus dimana calon dari kubu mayoritas dikalahkan dalam pemilihan oleh calon dari kelompok minoritas.
Faktor kekuatannya ada pada prestasi. Idealnya, calon terpilih adalah yang paling berprestasi. Jika prestasi sudah mendapat pengakuan masyarakat, maka politik identitas tak terlalu efektif lagi pengaruhnya. Politik identitas hanya berpengaruh jika para calon tidak mampu menunjukkan prestasi yang kuat dan menonjol.
Secara teoritis, politik identitas hanya bisa dinetralisir pengaruhnya dengan kekuatan prestasi. Jika anda punya prestasi yang diterima publik, maka akan banyak kelompok yang memberikan simpati.
Tanpa menyoal identitas, anda akan mendapatkan dukungan dari banyak kelompok tersebut. Lintas agama, lintas etnis, lintas profesi dan lintas golongan. Sekat-sekat identitas itu hanya akan terbuka pintunya dengan prestasi.
Kasus kekalahan Ahok di Pilgub DKI, jangan kambinghitamkan politik identitas. Sebab, dua gubernur sebelumnya yaitu Fauzi Bowo dan Jokowi terpilih jadi Gubernur di DKI tak bisa lepas dari faktor identitas.
Seandainya Fauzi Bowo bukan Betawi dan Jokowi bukan Jawa, mungkinkah terpilih jadi gubernur? Berat!
Di Pilgub DKI 2009 Fauzi Bowo menang. Saat itu basis analisis saya tertumpu pada preferensi sosiologis, di mana Fauzi Bowo Betawi-Jawa dan NU.
Selain faktor incumbent (Wagub) dengan dana dan jejaring yang lebih kuat. Begitu juga Jokowi. Jawa dan didukung PDIP (partai terbesar di DKI), selain heroisme Mobil Esemka dan punya profil antitesa incumbent. Jadi, bukan karena prestasi spektakuler yang membuat mereka menang.
Jadi, tak perlu menyoal dan mempermasalahkan politik identitas. Ini justru memicu kegaduhan, menciptakan keterbelahan dan konflik di masyarakat. Kasihan rakyat. Selalu jadi objek adu domba para perebut kekuasaan.
Kalau anda selalu sibuk menyoal identitas, boleh jadi, selain identitas anda tidak kuat, mungkin karena prestasi anda juga tidak bisa diandalkan. Minimnya prestasi mendorong para calon bertumpu dan mengandalkan politik identitas, atau mengutuk politik identitas bagi yang tidak memiliki kekuatan identitas.
Cukup tunjukkan prestasi diri, kerja yang bagus, program yang menyentuh dan bisa dirasakan langsung, atau setidaknya dianggap mampu jadi solusi oleh rakyat, maka secara alamiah, rakyat (lintas sektoral) akan memberi dukungan.
Jika anda punya prestasi cemerlang, bersikap tidak sektarian, enggak terikat dengan fanatisme kelompok, maka batas-batas identitas akan dengan sendirinya terbuka. Dengan begitu, rakyat tidak lagi melihat anda dari kelompok mana, agama dan etnis apa. Yang rakyat lihat hanya prestasi anda. Bukan yang lainnya.
Emha Ainun Najib, Arif Budiman, Anies Baswedan adalah beberapa nama yang tidak memerlukan identitas kelompok. Tapi mereka adalah orang-orang yang punya dedikasi, sibuk berkontribusi dan memberikan prestasinya untuk bangsa ini.
Tidak terus bermimpi jadi orang besar dengan memperkosa identitas kelompok, atau sebaliknya, dengan sibuk mengutuk politik identitas.
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa