OLEH: NATALIUS PIGAI
DALAM catatan media, dan jejak digital, paling kurang 4 kasus korupsi yang nama Azis Syamsudin, wakil ketua DPR RI ikut terseret. Empat kali pula Aziz lolos dari jeruji besi.
Sebut saja kasus-kasus yang namanya disebut; Kasus simulator SIM yang melibatkan Irjen Joko Susilo, kasus e-KTP, proyek pengembangan SDM Kejaksaan, kasus Bupati Lampung Tengah, dan lain-lain serta yang terakhir kasus Walikota Tanjungbalai.
Patut disematkan sebagai “Raja Kebal Hukum”. Apakah Azis Syamsuddin salah? Jawabanya belum tentu saja.
Namun nama Azis terlalu banyak disabut tiap kasus kasus suap dan korupsi diinfikasikan bahwa kasus-kasus amoral suap dan korupsi dikaitkan dengan memperdagangkan pengaruh jabatan dapat diduga dilakukan secara kontinyu.
Azis Syamsuddin mempertemukan walikota Tanjungbalai dan penyidik KPK. Azis Syamsuddin sudah tidak bisa terhindar dari jeratan hukum. Azis sudah bisa dikenakan pasal turut serta. Mempertemukan Pejabat Birokrat & Pengusaha saja tidak boleh, apalagi penyidik dan penjahat korupsi. Melanggar etika, moral, dan hukum. Mereka lawan Jokowi dan arus publik untuk Indonesia bersih dan bermoral
Karena itu, Pak Firli dan KPK konsisten dan berintegritas membantu Pemerintah Joko Widodo dalam membersihkan korupsi di negara ini.
Pada pidato kemenangan Presiden Jokowi di Sentul 14 Juli 2019 belum menyinggung pemberantasan korupi. Isi Pidato Kemenangan Presiden yang minus soal korupsi dan demokrasi tersebut sontak ditanggapi negatif oleh kami aktivis anti korupsi, demokrasi dan HAM.
Pemberantasan korupsi menjadi makin suram dengan hadirnya UU KPK hasil revisi yang cenderung memperlemah eksistensi lembaga anti rasua. Apalagi KPK dipimpin oleh pimpinan baru yang masih dipertanyakan publik.
Namun demikian membangun pemerintah yang bersih dan berwibawa tentu merupakan kebijakan yang permanen. Mengapa? Karena tindakan korupsi adalah suatu perbuatan yang tidak disukai oleh umat manusia di dunia (hostis humanis generis), maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan korupsi selain patut dijerat dengan delik yang pantas, juga wajar dilabeli hukuman sosial (social punishment).
Indonesia terbelenggu dalam lingkaran korupsi yang semakin lama membudaya, itulah satu satu problem terbesar bangsa ini. Sejak 2002, KPK telah bekerja keras mengeliminasi tindakan korupsi yang dilakukan dengan pengawasan, pencegahan, dan juga penegakan hukum secara tegas.
Namun demikian, harus disadari bahwa korupsi telah lama dilakukan secara terencana, terstruktur, dan masif karena tata laksana dan tata praja telah memberi ruang korupsi.
Tindakan korupsi tidak hanya cermin dari rendahnya mental dan moral individu, tetapi juga sebuah patologi sosial yang menyebabkan kerusakan nilai-nilai elementer seperti nilai kejujuran dan integritas. Saya mengapresiasi berbagai usaha KPK untuk membendung kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketertinggalan dan memperlambat kemajuan bangsa dan negara akibat kebocoran anggaran negara.
Pada masa yang akan datang, membangun kesadaran untuk hidup bersih dan membangun pemerintah yang berwibawa tidak boleh hanya menjadi beban penegak hukum, tetapi mesti menjadi perhatian semua komponen bangsa.
Kemitraan startegis KPK dan instansi pemerintah serta elemen masyarakat sipil (civil society) untuk membangun kesadaran tentang bahaya korupsi menjadi urgent. Selain KPK membangun mitra startegis dengan institusi penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Untuk memperbaiki lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK tidaklah muda, tentu membutuhkan strategi dan taktik baru secara lebih maju. Sudah waktunya KPK menemukan hambatan, melakukan perbaikan dan memantapkan kebijakan yang lebih progresif dan komprehensif. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada masa yang akan datang KPK perlu memantapkan 4 aspek terpenting, yaitu:
1. Manusia (Moral Hazard)
a). KPK mesti membangun kesadaran secara terencana, sistematis, dan masif kepada aktor pemerintah baik Aparat Sipil Negara (ASN) vertikal maupun horizontal dan rakyat Indonesia. KPK mesti memberi pesan kepada semua komponen bangsa bahwa Korupsi tindakan kejahatan yang tidak disukai oleh umat manusia di dunia (hostis humanis generis) karena dampaknya sama dan sebanding lurus dengan tindakan narkotika dan kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga orang merasa takut untuk berbuat korupsi.
b). Memperkuat kapasitas; pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills) dan mental dan moral (attitute) bagi pegawai penegak hukum yang terkait dengan korupsi. Salah satu aspek yang terpenting adalah mentalitas penegak hukum terkait penanganan kasus secara professional, objektif, berimbang dan berkeadilan.
2. Regulasi dan tata kelola
Mencari, menemukan, dan menutup pintu-pintu atau kran-kran korupsi baik dari segi regulasi, pelaksanaan teknis dan operasional, serta nomenklatur dan tata kelola baik pemerintah (state) dan swasta (non-state) yang memberi ruang korupsi selama ini. Korupsi tidak hanya semata-mata dilakukan hanya karena mental dan perilaku individu, tetapi juga berbagai regulasi yang dibuat oleh pemerintah memberi kemudahan.
Upaya mencegah korupsi mesti dimulai dengan memotret berbagai peraturan perundangan baik UU, PP, hingga keputusan-keputusan pimpinan instansi pemerintah baik vertikal maupun horizontal. Dalam konteks ini di dalam buku berjudul Negara Gagal (Falls of Nations) yang ditulis oleh Daren Acemoglu secara tegas mengatakan bahwa: Suatu negara gagal bukan karena adanya perbedaan infrastruktur, tetapi karena sekelompok elite oligarki ekonomi dan politik menguasai sebagain besar kekayaan, dan keputusan politik dan hukum hanya dibuat untuk memperkuat pemupukan kekayaan bagi sekelompok oligarki tersebut”.
Persolaan yang serius dalam konteks ini adalah bahwa berbagai regulasi yang dibuat pada masa orde baru sebagain besar dibuat atau dirancang untuk memperkuat punggawa politik dan ekonomi tetapi ketika reformasi pemerintah kurang melakukan amandemen atau perubahan peraturan perundangan tersebut. Dalam rangka pencegahan, KPK mendorong pemerintah secara serius agar melakukan amandemen atau perubahan berbagai perundang-undangan tersebut.
3. Penegakan hukum progresif
Menegakkan hukum secara profesional, objektif, imparsial, jujur dan adil melalui peradilan pidana (criminal justice system) termasuk memasukan pejabat negara yang memperdagangkan pengaruh atau dagang pengaruh (trading in influences) sebagai tindakan korupsi yang harus dikenahkan sebagai delik kejahatan pidana. Gagasan munculkan dagang pengaruh sebagai penegakan hukum di bidang korupsi yang lebih progresif.
Dagang pengaruh atau tindakan memperdagangkan pengaruh demi keuntungan pribadi, rekan bisnis atau golongan merupakan perilaku koruptif yang menyimpang dari etika dan moralitas. Perdagangan pengaruh yang dilakukan oleh sang pemangku jabatan, sanak saudara atau kerabat dekatnya adalah para aktor (actor of crimes) yang kita jumpai dalam negara-nagera dunia ketiga yang pemerintahannya cenderung otoriter, koruptif, dan miskin.
Kejahatan dagang jabatan sebagai sebuah tindakan perbuatan korupsi yang secara nyata tumbuh dan berkembang di Indonesia, kita lihat saja banyak pejabat negara baik di eksekutif, legislatif dan judikatif seperti Setya Novanto, Taufik Kurniawan, Irman Gusman bahkan hari ini Nama Azis Syamsudin disebut-sebut terlibat memperdagangkan pengaruh Dana Desentralisasi.
Namun sampai saat ini pemerintah belum menerapkan jenis delik trading in influence di dalam Undang-undang tindak pidana korupsi, padahal Undang-Undang Tipikor diadakan sejak tahun 1999 dan revisi terbatas di tahun 2001, seharusnya ketika Indonesia ratifikasi UNCAC tahun 2003 atau selanjutnya harusnya pemerintah melakukan penyesuaian melalui revisi terbatas UU Tipikor, termasuk memasukkan dagang pengaruh sebagai delik kejahatan dengan ruang lingkup yang jelas.
4. Penguataan kapasitas kelembagan KPK secara komprehensif.
Pada masa yang akan datang KPK perlu membangun kapasitas kelembagaan secara modern, membangun sistem manajemen secara rasional dan mampu menjawab berbagai kebutuhan dan tuntutan adanya kesadaran rakyat dan birokrasi yang bersih serta pemberantasan korupsi secara masif. Ada 5 pilar penting yang harus dikebangkan oleh KPK dalam rangka membangun kapasitas kelembagaan KPK, yaitu:
a. Menyusun nomenklatur struktur organisasi dan kelembagaan KPK yang mampu menampung atau mewadahi kebutuhan dua substansi utama sebagai tujuan lahirnya KPK, yakni pencegahaan dan pemberantasan serta sistem pendukung (supporting system).
b. Membangun sistem kerja secara jelas dan profesional. Sistem kerja yang dimaksud mengatur tata laksana (Pimpinan, Deputi, Penyidik, dan Sekretariatan) dan tata praja baik komisioner, sekteraris dan staf, pejabat struktural pelaksana substansi dan pejabat fungsional.
c. Meningkatkan sarana dan prasarana yang memadai dan modern.
d. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik pendudukan (knowledge), keterampilan (skils) dan juga mental dan moral (attitude).
e. Peningkatan anggaran KPK secara signifikan.
Pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan KPK agar tidak muda diterpa berbagai persoalan akibat kelemahan pengendalian manajemen telah menjadi fakta bahwa KPK ibarat momok yang menakutkan bagi para penguasa, pengusaha dan koruptor. Karena itu lembaga ini rentan dipenetrasi oleh berbagai komponen eksternal baik pemerintah, legislatif, aparat penegak hukum, birokrat, pengusaha, maupun juga orang-orang yang bermasalah hukum.
Saya mengusulkan agar pada periode yanga datang, KPK perlu melakukan menguatan (revitalisasi yang dititikberatkan pada 4 aspek yaitu sasaran kebijakan yang diarahkan pada sumber daya manusia baik penegak hukum, ASN dan membangun kesadaran atau gema antikorupsi, pembenaan penguatan regulasi dan tata kelola yang memberi kan korupsi, mendorong adannya tindakan dagang pengaruh dalam delik hukum, serta penguatan kapasitas kelembagaan KPK).
(Penulis adalah aktivis HAM dari Papua, yang juga Komisioner Komnas HAM 2012-2017)