GELORA.CO - Anjali Chauhan, seorang pengacara di Delhi, tidak akan pernah melupakan bagaimana mentornya pengacara Mahkamah Agung Anip Sachthey, berjuang melawan Covid-19 dan akhirnya menyerah.
Sachthey adalah anggota eksekutif senior dari Asosiasi Pengacara Mahkamah Agung. Pihak keluarga harus berjam-jam mencari tabung oksigen, yang menjadi sangat langka dan luar biasa mahalnya, untuk menyelamatkan Sachthey. Begitu didapat, ternyata tabung itu gagal dihubungkan ke masker venturi.
Setelah itu, pihak keluarga tidak bisa mengkremasi jasadnya dengan segera. Istri dan putrinya telah tiba di krematorium Dayanand Muktidham di Central Delhi pada pukul 11 siang, tetapi ternyata di jam itu sudah ada puluhan jasad yang menunggu giliran untuk dikremasi. Keduanya mengenakan perlengkapan APD dan berdiri menunggu di samping tubuhnya berjam-jam.
"Kami telah menelepon krematorium sejak tadi malam, tetapi tidak ada slot," kata Chauhan, yang ikut menunggu bersama keluarga Sachthey di krematorium.
Puluhan jenazah dibaringkan berbaris sesuai antrian sejak di pintu halaman masuk krematorium. Pemandangan yang sangat miris.
"Anda bisa bayangkan, kami menunggu (berjam-jam), bersama puluhan keluarga lain yang mengantarkan jasad orang yang dicintainya hanya untuk kremasi," kata Chauchan.
Dalam beberapa hari belakangan, cobaan yang dihadapi Chauhan dan pihak keluarga untuk menunggu kremasi banyak ditemui di India, seiring dengan krisis Covid-19 yang luar biasa.
Delhi, salah satu kota terparah yang telah dilanda kasus Covid-19, mencatat lebih dari 15.000 kematian sejak dimulainya pandemi. Bahkan dalam beberapa hari ini, kota itu mencatat ribuan kematian dalam 24 jam saja.
Isak tangis terdengar di lorong-lorong rumah sakit dan sepanjang perjalanan menuju krematorium. Asap mengepul tak berhenti di atas krematorium dan melayang memenuhi udara kota. Keluarga yang berduka harus bersabar menunggu antrian, yang bahkan setelah menunggu berjam-jam pihak krematorium mengabarkan agar mereka mencari krematorium lain.
"Kami harus meminta keluarga untuk mengambil kembali jenazah dan mengkremasinya di tempat lain,” kata Ram Pal, petugas krematorium Dayanand Muktidham yang telah bertugas selama 11 tahun.
Selama lima hari, setidaknya 40 hingga 50 jenazah telah dikremasi setiap hari. Ini jauh di luar kapasitas krematorium yang hanya bisa mengkremasi hingga 30 jenazah dalam sehari, katanya. Menambahkan bahwa ia dan aparat lainnya berjuang untuk meminta kepada pemerintah agar bisa menggunakan taman lainnya untuk meletakkan jasad dan proses kremasi.
Di beberapa krematorium di kota, jenazah dibaringkan begitu saja di lantai atau tanah di luar krematoriun, menunggu antrian yang memerlukan waktu lebih dari seharian. Yang memilukan, dalam salah satu antrian panjang mengerikan di krematorium di Ghaziabad, seekor anjing menggerogoti jenazah yang tidak ditunggui keluarganya.
Setelah kremasi, kerabat harus mendaftarkan kematian orang tersebut ke krematorium untuk mendapatkan dokumen kematian. Itu berarti harus bersabar untuk proses antran lagi. Nestapa keluarga yang berduka, semakin dalam saja.
Banyaknya kremasi juga berarti banyak kayu yang dibutuhkan. Delhi telah kehabisan pasokan kayu dan belum ada persediaan lagi hingga beberapa hari ke depan.
Di krematorium, staf berebut memberi ruang untuk lebih banyak tumpukan kayu.
"Setidaknya dibutuhkan 300 kg kayu untuk mengkremasi satu jenazah, kata Pal. Sementara jumlah jenazah yang akan dikremasi jauh lebih banyak, kata Ram Pal.
Pada jumat (25/4), Departemen Kehutanan telah mengizinkan penebangan sedikitnya 200 pohon untuk mengatasi kekurangan akut di kota, seperti dilaporkan The Times of India.
Namun, tidak mungkin akan menebang pohon terus menerus dengan fakta bahwa akan lebih banyak lagi korban yang meninggal melihat situasi sudah demikian buruk dan peralatan bantuan medis kosong.
"Kami akan terus menebang pohon, tapi jika terus begini, kami tidak akan punya sisa pohon,” kata Ram Pal. (RMOL)