DALAM buku biografi KH Hasyim Asyari (1871-1947) berjudul "Guru Sejati, Hasyim Asy’ari" diceritakan, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu ditangkap oleh tentara Nippon (Jepang) karena dianggap akan melakukan pemberontakan.
Ayah KH Abdul Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) dipenjara dan disiksa tentara Jepang untuk alasan yang tidak pernah diperbuatnya.
Ada sebuah foto ketika Kyai Haji Hasyim Asyari bertemu petinggi militer Jepang di Jakarta setelah insiden penangkapannya di Jombang. Posisi tangannya di pangkuan seperti menahan rasa sakit.
Telapak tangan kirinya masih remuk karena dipukul palu saat di penjara Jepang. Ucapan istighfar yang keluar saat menahan sakit jika hantaman palu mengenai tapak tangannya
Pada 1942, Hasyim Asyari beserta beberapa santri ditahan karena melakukan penolakan terhadap seikerei, sebuah penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan ketaatan pada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami) yang merupakan suatu kewajiban bagi rakyat Indonesia kala itu. Seikerei ini dilakukan dengan membungkuk ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi.
Hasyim Asyari menolak seikerei karena hanya Allah yang patut disembah, bukan manusia atau matahari. Selama dalam tahanan ini, banyak penyiksaan fisik yang diterima Hasyim Asyari, bahkan salah satu jarinya patah hingga tidak dapat digerakkan.
Akhirnya, setelah empat bulan, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1942, Hasyim Asyari dibebaskan karena banyaknya protes dari kalangan Kyai dan santri.
Akhirnya pihak Jepang meminta maaf kepada para ulama terutama Kyai Hasyim sebagai yang dituakan.
Sebelumnya oada 1913, intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Pencuri ini kemudian tertangkap dan dihajar oleh para santri hingga tewas.
Tewasnya pencuri ini dimanfaatkan pihak Belanda untuk menangkap Hasyim Asyari dengan tuduhan pembunuhan. Akan tetapi, karena Hasyim Asyari memahami dengan baik hukum-hukum Belanda, ia dapat menepis semua tuduhan tersebut dan lepas dari jeratan hukum.
Lalu Belanda mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk menghancurkan pesantren Hasyim Asyari yang baru berusia 10 tahunan. Bangunan pesantren porak-poranda dan kitab-kitab hancur serta terbakar. Perlakuan Belanda berlangsung sampai 1940.
Meski mengalami beragam kekerasan di dalam penjara, kakek dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak menyurutkan sedikit pun semangat menegakkan agama Allah dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Alquran dan mengulang hafalan hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhari.
Kisah keteguhan hati Kiai Hasyim Asyari dengan tetap menghafal Alquran dan Kitab Hadits Al-Bukhari sebagai wiridan (kebiasaan rutin) selama dipenjara oleh Jepang diriwayatkan oleh Komandan Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim (Berangkat dari Pesantren, 2013) dalam sebuah kesempatan sesaat setelah Kiai Hasyim Asyari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah dan Gus Wahid.[]