PADA awal abad ke-18, tepatnya tahun 1736 M, seorang pemuda Arab bernama Habib Husein bin Abubakar Alaydrus datang ke Pelabuhan Sunda Kelapa. la berasal dari daerah Al-Maiqab Hadramaut, Jazirah Arab yang kini masuk ke dalam wilayah Yaman Selatan.
Sunda Kelapa adalah sebuah kota lama, juga dikenal dengan "Pasar Ikannya" Jakarta , pada waktu itu termasuk bandar yang paling ramai di Pulau Jawa. Di tepi pantai terlihat rumah-rumah kaum nelayan dan warung-warung yang mereka kelola sebagai usaha sampingan. Bagian daratnya ditumbuhi hutan bakau yang lebat. Di sanalah Habib Husein membuat surau (musholla), sebagai tempatnya beribadah dan berkhalwat.
Pada malam hari banyak orang datang ke tempatnya untuk mengaji dan memohon bantuan doa. Sedangkan pada siang hari Habib Husein gemar memancing, menelusuri tepian pantai. Kian hari semakin banyak penduduk memadati Sunda Kelapa, terutama para pengusaha yang datang dari berbagai daerah.
Demikian pula majelis pengajian dan surau Habib Husein makin ramai dikunjungi orang untuk belajar agama. Sehingga bangunan surau itupun diperbesar rnenjadi sebuah masjid. Dengan begitu, penyiaran agama Islam di Kampung Luar Batang dan sekitarnya, berkembang semakin pesat.
Pada suatu malam Habib Husein dikejutkan oleh seseorang yang datang dengan pakaian basah kuyup, memohon pertolongannya. Orang itu mengaku lari dari kejaran Kompeni (VOC). la adalah tawanan di sebuah kapal dagang milik orang Tionghoa dan akan dikenakan hukuman mati.
Siang hari berikutnya, satu regu pasukan berkuda VOC tiba di rumah Habib, berusaha menangkap dan membawa 'buronan' tersebut dari tangan Habib. Tetapi dengan tegar Habib Husein membela tawanan itu seraya berkata: "Saya akan melindungi tawanan ini dan saya menjadi jaminannya."
Mendengar kata-kata tegas Habib Husein, regu VOC itu mengurungkan niatnya dan membebaskan orang tersebut dari pertikaian. Tawanan Tionghoa itu sangat berterima kasih kepada Habib Husein atas pertolongan dan perlindungannya, serta bersedia menerima apa saja perintah Habib, bahkan ia mengakui Islam sebagai agamanya.
Nama Habib Husein makin dikenal oleh banyak orang. Di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, makin banyak pendatang yang bermukim. Namun, pihak Kompeni Belanda justru mencurigai pengaruh dan kharisma Habib. Kalau dibiarkan terus, dikhawatirkan dapat mengganggu kedudukan Kompeni sebagai penguasa waktu itu. Maka diambillah tindakan, Habib beserta pengikutnya dijatuhi hukuman tahanan di wilayah Pancoran (Glodok), rumah tahanan itu dikenal dengan nama "Seksi Dua".
Para petugas tahanan merasa heran melihat Habib Husein setiap tengah malam hingga menjelang Subuh mengimami shalat dalam ruangan besar rumah tahanan itu. Masyakarat di luar pun ikut serta bermakmum. Tapi pada saat bersamaan, para petugas tahanan mendapatkan Habib sedang tidur nyenyak di dalam kamarnya yang selalu terkunci. Setelah kejadian itu, Kompeni Belanda meminta maaf atas penahanan itu, lalu membebaskan Habib Husein beserta pengikutnya, sebab memang tidak ada alasan hukum yang kuat untuk menahannya.
Yang menarik, ada seorang Belanda yang menjabat Komisaris merasa berhutang budi pada Habib Husein, ketika ia meminta Habib meramalkan nasib putranya. Kata Habib, kelak si sinyo (anak Belanda) itu akan menjadi orang besar di negeri ini. Terbukti, tidak berapa lama setelah lulus dari pendidikan, putranya itu dipercaya menduduki jabatan Gubernur di Batavia. Maka saat menjelang wafatnya, si Belanda tadi meninggalkan surat wasiat kepada anaknya agar memberi hadiah kepada Habib Husein.
Habib Husein menerima beberapa kantong (pundi-pundi) uang pemberian pribadi Gubernur Batavia, tetapi kemudian membuangnya ke laut. Percaya atau tidak, ternyata uang itu dikirimkan untuk ibunya di Hadramaut, Yaman.
Kabar itu tersiar dengan cepat. Banyak orang mengira uang itu masih ada di laut. Lalu masyarakat berbondong-bondong menyelami laut di sana. Sebagian di antara mereka memang beruntung mendapatkannya. Akibatnya, banyak warga masyarakat datang dari tempat yang jauh dan ada yang menjadikan kegiatan menyelam itu sebagai mata pencaharian. Sejak itu, Pelabuhan Sunda Kelapa khususnya dan Kota pada umumnya semakin ramai saja, sehingga timbul istilah "Mencari Duit ke Kota ".
Konon, sebagian uang itu sampai ke alamat yang dituju Habib Husein, yakni ke tempat ibunya di Hadramaut. Sang Gubernur tentu saja tidak percaya. Untuk membuktikan kebenaran cerita itu, gubernur mengutus seorang ajudan ke Hadramaut. Apa yang ditemukannya? Ajudan itu sempat menemui langsung ibunda Habib Husein yang mengaku telah menerima uang kiriman dari anaknya sesuai dengan hari dan tangal pengiriman uang tersebut.
Setelah kejadian itu, Gubernur menemui Habib Husein, sekaligus menanyakan apa keinginannya dan apa yang diharapkan darinya? "Saya tidak mengharapkan apa pun dari Tuan," ujar Habib. Namun demikian, Gubernur memberikan sebidang tanah (dulu disebut "Kampung Baru") sebagai tempat tinggal dan peristirahatan Habib untuk hari tuanya.
Habib Husein wafat pada 17 Ramadhan 1169 H (27 Juni 1756 M) dalam usia antara 30-40 tahun. Catatan ini diperoleh sejak didirikannya Masjid Luar Batang, yang menyebutkan antara tahun 1716-1756 M dihitung dari tahun kelahiran sampai wafatnya. []