GELORA.CO - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan red notice interpol yang melibatkan Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Bos Mulia Group itu sendiri telah divonis empat tahun dan enam bulan penjara.
“ICW menuntut agar KPK masuk lebih jauh untuk menyelidiki dan menyidik pihak-pihak lain yang belum diusut oleh Kejaksaan atau Kepolisian. Misalnya menelisik siapa pihak yang berada di balik Pinangki Sirna Malasari sehingga bisa bertemu dan menawarkan bantuan kepada Joko S Tjandra,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (6/4).
Kurnia meyakini, masih ada oknum-oknum lain yang belum tersentuh oleh Kejaksaan maupun Kepolisian. Sehingga KPK dianggap penting untuk menindaklanjuti perkara suap yang melibatkan unsur Kejaksaan Agung dan Polri.
Terlebih KPK telah menerbitkan surat perintah supervisi dua perkara yang menjerat Djoko Tjandra di Kejaksaan dan Polri. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“ICW curiga terhadap surat perintah supervisi yang diterbitkan oleh KPK sepertinya hanya sekadar formalitas belaka. Sebab, sampai saat ini praktis tidak ada hal konkret yang dilakukan KPK terhadap perkara Joko S Tjandra,” cetus Kurnia.
KPK sebelumnya telah menerima banyak laporan terkait sengkarut permasalahan Djoko Tjandra. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) sebelumnya meminta agar KPK mengusut istilah King Maker dalam skandal Djoko Tjandra.
Karena istilah King Maker dalam amar putusan mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung), Pinangki Sirna Malasari benar adanya. Tetapi siapa sosok King Maker belum terungkap dalam sidang Pinangki maupun Djoko Tjandra.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menduga sosok King Maker merupakan unsur penegak hukum. Dia pun menduga, mempunyai jabatan tinggi pada sebuah lembaga negara.
“King Maker dari unsur penegak hukum. Penegak hukum dan jabatannya tinggi. Oknum penegak hukum yang jabatannya tinggi. Itu berdasarkan versi dari salah satu saksi yang diproses ke pengadilan,” ungkap Boyamin di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (23/2).
Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta telah memvonis Djoko Tjandra dengan hukuman empat tahun dan enam bulan penjara. Dia juga dijatuhi hukuman berupa denda senilai Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan.
“Menyatakan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra terbukti secata sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan, pidana denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim, Muhammad Damis di PN Tipikor Jakarta, Senin (5/4).
Hakim meyakini, Djoko Tjandra menyuap mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte. Djoko memberikan suap ke Napoleon senilai SGD 200 ribu dan USD 370 ribu.
Sedangkan Prasetijo, diduga menerima USD 100 ribu dari Djoko Tjandra. Pemberian uang suap itu melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi yang juga terseret dalam perkara ini.
Aliran suap itu diberikan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kedua jenderal polisi itu juga turut terseret dalam kasus ini.
Selain itu, Djoko Tjandra juga diyakini memberikan USD 500 ribu kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pemberian uang itu agar Pinangki mengurus status hukum Djoko Tjandra yang saat itu terjerat hukuman dua tahun pidana penjara dalam kasus hak tagih Bank Bali.
Djoko Tjandra juga diyakini melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya. Jaksa meyakini, ada perjanjian uang senilai USD 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
Djoko Tjandra terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.
Selain itu, terbukti melanggar Pasal 15 jo Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[jpc]