GELORA.CO - Bukan hanya media internasional yang menyoroti kemunculan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, orang yang paling bertanggung jawab atas kudeta Myanmar dalam pertemuan KTT ASEAN di Jakarta yang berlangsung hari ini, Sabtu (24/4). Para pengamat pun mengomentari hadirnya Aung Hlaing dalam pertemuan tersebut.
Para pengamat dan sejumlah penentang kudeta mengecam keras kehadiran Aung Hlaing di pertemuan itu.
Menurut mereka, Aung Hlaing telah merebut paksa kekuasaan Myamar, sehingga ia bukankah pemimpin sah Myanmar dan tidak selayaknya diundang dalam acara kenegaraan.
Terutama banyaknya korban berjatuhan dengan kekerasan mematikan yang dilakukan oleh pasukan keamanan yang dipimpinnya, maka sudah semestinya dia bertanggung jawab.
Direktur Human Rights Watch Asia, Brad Adams, mengungkapkan tidak semestinya Aung Hlaing disambut bak pemimpin.
“Min Aung Hlaing, yang menghadapi sanksi internasional atas perannya dalam kekejaman militer dan tindakan keras brutal terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi, seharusnya tidak disambut pada pertemuan antar pemerintah untuk mengatasi krisis yang dia ciptakan,” katanya seperti dikutip dari AP, Sabtu (24/4).
Adams mengatakan, anggota ASEAN seharusnya mengambil kesempatan ini untuk menjatuhkan sanksi ekonomi yang ditargetkan pada para pemimpin junta dan pada bisnis yang mendanai junta, dan menekan junta untuk membebaskan tahanan politik, mengakhiri pelanggaran, dan memulihkan pemerintah negara yang terpilih secara demokratis.
Hal senada juga dikatakan oleh Sasa, Menteri Kerja Sama Internasional pemerintah paralel. Ia menegaskan mengundang Aung Hlaing dalam sebuah pertemuan para pemimpin internasional adalah hal yang keliru. Sementara Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) paralel oposisi, yang baru-baru ini dibentuk oleh anggota parlemen terpilih, justru tidak diundang.
“Tidak dapat diterima bahwa mereka mengundang pemimpin pembunuh ini, Min Aung Hlaing, yang baru saja membunuh lebih dari 730 orang di Myanmar. Saya pikir sangat disayangkan bahwa mereka, lagi dan lagi, berbicara dengan para jenderal militer dan tidak pemerintah sipil Myanmar, yaitu Pemerintah Persatuan Nasional (NUG)," katanya.
Pangamat mengatakan, ASEAN menghadapi masalah yang lebih mendasar dalam upaya menyelesaikan krisis Myanmar. Mereka menunjuk pada kepentingan yang berbeda dari anggota kelompok, konvensi lama untuk mencari konsensus dan menghindari campur tangan dalam urusan satu sama lain, dan sikap keras kepala bersejarah para jenderal Myanmar.
Prof. Thitinan Pongsudhirak, direktur Institut Keamanan dan Internasional mengatakan, konsepsi ASEAN sekarang adalah menghadapi tantangan paling berat dalam 53 tahun keberadaannya.
“Sekarang adalah waktu yang sangat penting bagi sentralitas ASEAN yang banyak dipuji, gagasan bahwa ASEAN adalah platform regional pusat untuk dialog regional, untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan,” kata Pongsudhirak.
Evan Laksmana, peneliti untuk Pusat Kajian Strategis dan Internasional Indonesia, sebuah wadah pemikir yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah, mengatakan ada alasan yang sangat praktis untuk melibatkan Min Aung Hlaing secara langsung dalam pertemuan ini.
"ASEAN mengakui kenyataannya adalah salah satu pihak yang melakukan kekerasan, yaitu militer, dan oleh karena itu militer dipanggil untuk pertemuan tersebut. Jadi, ini sama sekali tidak memberikan legitimasi kepada rezim militer,” katanya. (*)