GELORA.CO - Solo Raya menjadi salah satu kawasan yang terkenal sebagai surganya kuliner ektrim olahan daging anjing.
Di Solo, misalnya, ada setidaknya 85 warung makan yang menawarkan kuliner ekstrim tersebut.
Warung-warung tersebut mendapat pasokan dari luar Kota Solo, diantaranya Wonogiri dan kawasan Jawa Barat.
Pengirimannya melalui jalur darat, yakni truk.
Tim koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) Kota Solo, Mustika mengungkapkan kurang lebih 1.200 ekor anjing yang dibunuh dalam sebulannya.
Itu didasarkan hasil investigasi yang dilakukan tahun 2019.
Invetigasi tersebut menyebut setidaknya satu truk bisa datang 3 kali dalam seminggu ke kawasan Solo Raya.
"Satu truk itu mininal membawa 100 ekor anjing. Bila seminggu 3 kali, maka kurang lebih ada 300 ekor anjing. Jadi kalau sebulan bisa kurang lebih 1.200 ekor," ungkap Mustika kepada TribunSolo.com, Senin (19/4/2021).
Anjing-anjing tersebut kemudian didistribuskan ke pengepul sebelum akhirnya dibunuh untuk jadi santapan.
Penyembelihan anjing dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya digelonggong, dan diketok kepalanya pakai besi atau kayu.
"Kalau di kawasan Klaten, dulu itu kebanyakan ditenggelamkan. Kalau di Solo kebanyakan diketok kepalanya," jelas Mustika.
"Sementara di Wonogiri, mungkin diketok kepalanya dulu kemudian dibakar. Jadi sekarang itu ada daging anjing guling," tambahnya.
Metode tersebut, khususnya yang diketok kepalanya, dipercaya para penikmat bisa menambah kenikmatan cita rasa olahan daging anjing.
"Itu dipercaya mempengaruhi cita rasa, kegurihannya terasa. Daging anjing tidak mengeluarkan darah," kata Mustika.
"Waktu diketok kepalanya, anjing sebenarnya dalam kondisi setengah hidup atau pingsan. Kemudian langsung digantung, digorok, dan dikelupasi kulitnya. Itu dalam kondisi hidup," tambahnya.
Sejak Zaman Majapahit
Pelarangan usaha kuliner anjing di Kabupaten Sukoharjo menuai pro kontra dari masyarakat.
Maklum, kawasan Solo Raya dikenal sebagai surganya kuliner anjing.
Sejarawan Kota Solo, Heri Priyatmoko sendiri membenarkan bahwa tradisi makan daging anjing sudah menjadi bagian dari budaya yang mengakar di masyarakat.
"Kalau kita telaah, peredaran daging anjing di masyarakat kita sudah ada sejak era Kerajaan Majapahit," katanya kepada TribunSolo.com pada Minggu (18/4/2021).
"Pada zaman itu dikenal ada namanya 'asu tugel' atau yang bermakna anjing dikebiri, dan dianggap menjadi santapan lezat bagi para masyarakat hingga priyayi dari Kerajaan Majapahit," imbuhnya.
Oleh karena sudah begitu mengakar bagi warga Solo Raya, Heri meyakini, regulasi penghentian dari perdagangan daging anjing tidak akan menghentikan tradisi makan daging anjing ini.
"Sekarang zaman sudah modern, kalau orang dilarang membuka lapak untuk jualan daging anjing, nanti juga bisa pindah ke online," jelasnya.
Dirinya menambahkan bahwa perdagangan daging anjing hanya bisa dihentikan apabila tradisi ini dihentikan bukan pasarnya yang ditutup.
"Penjualan daging anjing ini lestari karena ada yang meneruskan, baik pedagangnya atau konsumennya, kalau cuma distop lapaknya ya sama saja," ujarnya.
Heri sendiri telah melakukan riset mengani konsumsi daging anjing sudah lebih hampir enam tahun lamanya.
"Saya sudah mulai riset dari tahun 2015, dari wawancara pedagang, konsumen dan membuka semua literasi mengenai daging anjing di Solo Raya," terangnya.
Dalam risetnya, Heri juga menyebutkan bahwa banyak artikel koran zaman pra kemerdekaan yang menulis mengenai peredaran daging anjing di Solo dan sekitarnya.
Saat itu, Solo Raya masih di bawah kendali penuh Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
"Jurnalis Bromortani pada 25 Agustus 1881 menulis menganai peredaran arak yang disertai dengan daging anjing sebagai santapan legal yang dikendalikan oleh orang Tionghoa dan Eropa," jelasnya.
Sehingga tidak heran, apabila konsumsi daging anjing sangat mendarah daging turun temurun karena target konsumennya sangat jelas.
"Makanan itu sangat laris karena suburnya budaya mabuk-mabukan yang menjadi teman santapan daging anjing dan budaya mabuk-mabukkan yang banyak dilakukan oleh kaum non muslim dan muslim abangan," ungkapnya.
Dirinya bahkan menyebut, bahwa Solo saat ini menjadi kota peredaran daging anjing terbesar kedua setelah Jakarta.
"Dalam urusan menyantap daging anjing Solo terbesar setelah Jakarta," ujarnya.
Solo Kaji Larangan Jual Beli Daging Anjing
Pemerintah Kota (Pemkot) Solo belum berencana mengikuti langkah Pemkab Sukoharjo.
Itu terkait larangan praktik penjualan dan pemotongan daging hewan non pangan, termasuk daging anjing.
Termasuk, larangan menjual kuliner berbahan daging hewan non pangan selama momen Ramadan 2021.
Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka mengatakan, Pemkot masih mengkaji terkait larangan tersebut.
"Nanti kami kaji dulu," ujarnya, Jumat (16/4/2021).
Terlebih dalam Surat Edaran Wali Kota Solo tentang Perpanjangan PPKM, sambung Gibran, belum mengatur itu secara spesifik.
Baca juga: Setelah Makan Daging Anjing, 25 Warga di Simalungun Alami Muntah-muntah Lalu Dilarikan ke Puskesmas
"Belum diatur secara spesifik di Surat Edaran. Coba nanti dikaji dulu," tutur Gibran.
Rencananya, Gibran mengatakan, pembahasan larangan praktik penjualan dan pemotongan daging hewan non pangan segera dilakukan.
"Senin, kita bikin surat edaran baru. Kita evaluasi lagi," katanya. [solo]