GELORA.CO - Sejumlah mahasiswa Indonesia yang tinggal di India bercerita salah satu fenomena unik yang mereka saksikan adalah warga dari kasta atas yang 'merasa hebat dan boleh melanggar protokol kesehatan' (prokes) di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang mencapai ratusan ribu dalam sehari.
Mereka juga bercerita di tengah lonjakan kasus harian Covid-19 di negara itu, warga masih ada yang "tetap abai dalam menjalankan protokol kesehatan".
Pada Kamis (22/04) kasus positif virus corona bertambah hampir 315.000, angka harian tertinggi di dunia.
Banyak rumah sakit kewalahan dan muncul laporan penjarahan tabung-tabung oksigen karena pasok tabung ini menipis. Yang juga menipis adalah pasok obat-obatan penting.
Meroketnya kasus positif membuat warga khawatir, termasuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di India.
Arif Sorayaman Hulu, mahasiswa Indonesia di Rajkot, Gujarat di India barat, mengatakan yang antara lain membuat dirinya khawatir adalah "abainya warga dalam menerapkan protokol kesehatan". Padahal penerapan protokol ini sangat penting dalam menekan pandemi.
"Aktivitas warga berjalan normal, padahal pemerintah sedang menerapkan lockdown (karantina wilayah)," terangnya.
Ia juga melihat di pusat kota banyak warga yang tidak mengenakan masker.#mce_temp_url#
Suatu ketika Arif berada di rumah sakit di Rajkot yang menangani pasien-pasien Covid-19.
"Saya berdiri di depan rumah sakit itu dan saya melihat ambulans berlalu-lalang ... belum selesai satu pasien ditangani, sudah datang lagi pasien yang baru ... saya [juga] melihat ada pasien yang sangat parah, keluarganya menangis sejadi-jadinya, namun penanganannya saya lihat lamban, lamban sekali," ujarnya.
'Diperparah oleh sistem sosial'
Arif mengatakan dirinya melihat "fenomena unik" di mana kelompok masyarakat dari kasta atas, dari kelompok kaya dan elite, "sepertinya boleh melanggar protokol kesehatan".
"Karena mereka merasa sudah hebat, berasal dari kelompok sosial yang tinggi, mereka merasa bisa melakukan apa saja," kata Arif yang mengambil jurusan hukum.
Menghadapi situasi seperti ini, Arif dan beberapa mahasiswa Indonesia di Rajkot, berusaha hati-hati dengan selalu menaati protokol kesehatan.
"Kami tahu, kami sadar Covid-19 ini sangat berbahaya, kami mematuhi protokol, tapi lagi-lagi saya melihat mahasiswa lain kurang serius," katanya.
Yang membuatnya khawatir adalah ia tinggal di asrama yang dekat dengan gedung yang dipakai untuk menampung orang-orang yang sedang menjalani isolasi karena terkena Covid-19.
"Dan mereka dibiarkan keluar [dari gedung] ... sepertinya mereka menganggap Covid-19 itu nothing (tak ada bahayanya)," ungkapnya.
"Dua teman satu kamar saya terkena Covid-19 dan harus isolasi [di gedung di depan asrama] dan mereka dibolehkan lalu-lalang," lanjutnya.
'Merasa sudah menang lawan pandemi'
Situasi berbeda dirasakan oleh mahasiswa Indonesia di Delhi, Mohd Agoes Aufiya.
Agoes mengatakan karantina wilayah dan sejumlah pembatasan -- yang diberlalukan lagi mulai hari Minggu (18/04) -- ditaati warga di kota ini.
"Semua warga tinggal di rumah, tidak ke mana-mana, kecuali bagi mereka yang punya alasan valid untuk keluar rumah," kata Agoes.
"Toko yang menyediakan kebutuhan bahan pokok buka, tapi toko-toko yang menjual bahan atau produk nonesensial tutup ... toko sepatu atau toko ponsel, itu tutup," katanya.
Ia mengatakan secara umum warga di Delhi mematuhi protokol kesehatan, misalnya mengenakan masker.
"Mungkin sekitar 95% pakai masker, tapi ya tetap saja masih ada yang tidak mengenakan masker. Saya merasa ketakukan atau kekhawatiran [warga] tidak seperti saat gelombang pertama," terang mahasiswa doktoral jurusan hubungan internasional ini.
"Ketika itu orang-orang pakai masker, pakai sarung tangan, pakai face shield dan menerapkan jaga jarak. Tapi dengan berjalannya waktu, mungkin karena merasa sudah menang [melawan pandemi virus corona], karena angka kasus memang sempat turun di bulan November, Desember, Januari, Februari, mungkin membuat kekhawatiran atau ketakutan warga tidak sebesar dulu," jelasnya.
Perasaan seperti ini ia perkirakan menjadi penyebab masyarakat tak lagi patuh sepenuhnya melaksanakan protokol kesehatan.
"Saya pernah ke daerah Jakhal di Haryana, itu tak ada warga yang memakai masker," ujarnya.
Di tengah naiknya angka kasus, Agoes dan para mahasiswa Indonesia di India mengintensifkan komunikasi melalui grup Whatsapp.
"Kami berbagi informasi, mengingatkan bahwa keadaan sekarang sulit dan kita semua harus waspada, terutama di wilayah-wilayah episentrum, seperti di New Delhi, Kerala, Karnataka, Tamil Nadu dan Uttar Pradesh ... mereka yang ada di kawasan-kawasan itu diminta untuk hati-hati," katanya.
Informasi juga dibagikan ke warga Indonesia lain, antara lain soal jika ada warga yang menghadapi kesulitan atau terkena Covid-19 untuk memberi tahu pihak KBRI, untuk memastikan tersedia bantuan bagi warga Indonesia yang memerlukan.
Rumah sakit di Uttar Pradesh kewalahan
Pembatasan juga diterapkan oleh pemerintah di negara bagian Uttar Pradesh. Mahasiswi Indonesia di Lucknow, ibu kota negara bagian, Ayu Andriyaningsih, mengatakan warga diwajibkan berada di rumah.
"Terasa sekali ketika lockdown diberlakukan ... jauh lebih sepi. Alhamdulillah, di sini masyarakat taat," kata Ayu.
"Masyarakat tidak keluar rumah, kecuali untuk urusan atau alasan yang valid ... jadi kalau lockdown terasa sekali sepinya," imbuhnya.
"Tak ada orang di jalan, kebetulan asrama saya di dekat kalan raya," katanya.
Uttar Pradesh, negara bagian dengan populasi 240 juta jiwa, sangat terdampak pandemi.
Sejak pandemi bermula, tercatat lebih dari 851.000 kasus di negara bagian ini dengan angka kematian setidaknya 9.800 orang.
Rumah sakit menolak pasien karena sudah tidak ada tempat tidur, sementara kremasi jenazah seakan tak akan pernah berhenti.
"Pernah dalam satu hari, kasus bertambah sekitar 30.000 jadi mungkin rumah sakit kewalahan," terangnya.
"Saya sendiri merasa antara stres tidak stres ... sekarang kami juga puasa, kemudian dalam posisi dikurung dengan situasi seperti ini, jadi kami misalnya susah cari bahan makanan. Sekarang ini susah mencari sayur segar," ujarnya.
"Kadang ada vendor (pedagang) yang datang ke asrama, tapi kan tidak semuanya 100% segar," katanya.
Ia mengakui dirinya sangat khawatir dengan pandemi yang memburuk.
"Kami khawatir sekali karena kasusnya melonjak, jadi takut ... ini membuat kami waspada," tambahnya.
Banyak yang meyakini meroketnya kasus dipicu oleh festival-festival agama dan kampanye pemilu negara bagian, yang dihadiri banyak orang dan penyelenggara gagal memastikan protokol kesehatan benar-benar ditaati.
Pemerintah negara bagian dan federal mengklaim situasinya masih bisa dikendalikan, namun banyak pihak mengatakan pemerintah telah "gagal mengantisipasi gelombang kedua" ketika situasi melandai antara Oktober 2020 hingga Februari 2021. []