GELORA.CO - Amerika Serikat (AS) merilis laporan tahunan terkait deretan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di setiap negara yang terjadi selama 2020, termasuk Indonesia. Salah satu yang disinggung adalah pembatasan akses internet Papua yang terjadi di era pemerintahan Joko Widodo.
Dalam laporan setebal 38 halaman itu, AS menyinggung langkah pemerintah yang kerap membatasi akses komunikasi seperti internet untuk meredam pergolakan, salah satunya saat kerusuhan di Papua pada Agustus dan September 2019.
Pada Juni 2020, beberapa NGO dan aktivis Papua juga melaporkan pemblokiran diskusi daring terkait isu Papua. AS juga menyinggung serangan peretasan terhadap setidaknya empat media Indonesia setelah merilis publikasi yang berisi kritikan terhadap penanganan pandemi virus corona (Covid-19) oleh pemerintah.
Sebagai contoh, AS menjabarkan peretasan yang dialami Tempo.com pada Agustus 2020. Situs Tempo.com diretas dengan tampilan tulisan "hentikan hoax, jangan bohongi rakyat Indonesia, kembali kepada kode etik jurnalistik yang benar".
Peretasan yang sama juga terjadi pada situs berita Tirto.id setelah menerbitkan artikel mengkritik Badan Intelijen Negara (BIN) dan keterlibatan angkatan bersenjata dalam merumuskan pengobatan Covid-19. Sejumlah artikel terkait isu itu pun hilang seketika.
Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutus Presiden Jokowi dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada 2019.
Dalam sidang putusan, Majelis hakim PTUN menilai alasan Kominfo menggunakan diskresi karena kekosongan hukum, juga tidak tepat. Sebab, dalam kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang, bukan dengan aturan hukum lebih rendah dari itu.
Undang-undang yang bisa dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembatasan hak, yaitu Undang Undang tentang Keadaan Bahaya tidak digunakan pemerintah dalam menangani penyebaran informasi hoax rusuh Papua.
Hakim juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam Konstitusi dan sejumlah konvensi hak asasi manusia lainnya.
Sejumlah aktivis juga menyebut pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Salah satunya di Pasal 43 ayat 3 institusi terkait bisa melakukan pemutusan akses jika dilakukan penyitaan terhadap 'benda digital' (website dan akun media sosial) yang diduga dapat mengganggu kepentingan umum.
Pemblokiran internet di Papua saat itu dilakukan pemerintah melalui Kominfo menyusul pecahnya aksi unjuk rasa di beberapa wilayah Papua seperti Fakfak, Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Aksi demonstrasi besar-besaran itu kemudian berujung ricuh.
Namun Menkominfo Johnny G. Plate berkilah pemerintah Jokowi tidak memiliki kemampuan teknis untuk memutus akses internet dan pelambatan akses bandwidth internet Papua.
Johnny juga enggan mengatakan pembatasan dan pemutusan yang dilakukan oleh operator seluler adalah sebuah arahan dan instruksi dari pemerintah.
Dalam laporan yang dirilis Kementerian Luar Negeri AS pada Selasa (30/3), Gedung Putih menjabarkan belasan pelanggaran HAM di Indonesia, mulai dari kekerasan dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua, hingga diskriminasi penegak hukum terhadap kaum LGBT dan masyarakat adat.
"Pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di berbagai negara ini menyebabkan kerusakan yang tak terhitung jauh di luar perbatasan negara tersebut. Pelanggaran HAM yang tak terkendali di mana pun dapat menimbulkan rasa impunitas di mana-mana," kata Menteri Luar Negeri AS, Anthony Blinken, dalam kata sambutannya dilaporan tersebut. (*)