GELORA.CO - Partai Gerindra meminta Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 laskar FPI menjelaskan unsur dugaan pelanggaran HAM berat pada insiden Km 50. Gerindra menilai pelanggaran HAM berat harus memenuhi unsur adanya serangan yang meluas dan sistematis.
"Kalau bicara Pengadilan HAM kita harus melihat apakah terpenuhi unsur adanya serangan yang sistematis dan meluas, itu diatur Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000," kata Waketum Gerindra, Habibburokhman, kepada wartawan, Selasa (9/3/2021) malam.
Anggota Komisi III DPR RI itu kemudian mempertanyakan unsur pelanggaran HAM berat yang dimaksud TP3 dalam kasus tersebut. Dia meminta TP3 untuk menjelaskan dan menampilkan bukti.
"Pertanyaannya, di mana meluasnya dan di mana sistematisnya? Itu yang harus dijelaskan oleh TP3 disertai dengan bukti-bukti," tutur Habibburokhman.
Habibburokhman kemudian membandingkan dengan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur pada tahun 1999 silam. Dia menjelaskan bahwa kasus itu memenuhi unsur meluas.
"Kalau mengacu kasus Timor Timur, unsur meluas terpenuhi karena terjadi di berbagai tempat," kata dia.
Lebih lanjut, Habiburokhman mengatakan pihaknya menghormati hasil investigasi yang dilakukan Komnas HAM. Dia mengatakan Gerindra akan mengawal rekomendasi yang telah diberikan oleh Komnas HAM, termasuk hingga proses persidangan.
"Kami menghormati rekomendasi Komnas HAM bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dan harus diusut siapa pelakunya untuk dimintai pertanggungjawaban secara hukum di pengadilan. Yang jelas, walaupun ini di pengadilan umum kan kita tetap akan mengawal jalannya persidangan supaya berjalan adil," jelasnya.
Untuk diketahui, TP3 enam laskar FPI bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (9/3) kemarin. Mereka meminta agar kasus tewasnya enam laskar FPI itu dibawa ke pengadilan HAM.
Pertemuan itu digelar di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat. TP3 diwakili oleh Amien Rais hingga Marwan Batubara.
"Kemudian diurai apa yang terjadi pertama, tujuh orang yang diwakili oleh Pak Amien Rais dan pak Marwan Batubara tadi menyatakan mereka menyatakan keyakinan telah terjadi pembunuhan terhadap 6 laskar FPI dan mereka meminta agar ini dibawa ke pengadilan HAM karena pelanggaran HAM berat, itu yang disampaikan kepada presiden," kata Menko Polhukam Mahfud Md dalam jumpa pers yang disiarkan akun YouTube Sekretariat Presiden.
Mahfud memaparkan kasus Km 50 tak bisa langsung disebut pelanggaran HAM berat. Menurutnya, ada tiga syarat yang bisa melabeli sebuah kasus masuk kategori pelanggaran HAM berat yakni dilakukan secara terstruktur dalam artian aparat secara berjenjang, sistematis, dan masif, yakni menimbulkan korban meluas.
"Kalau ada bukti itu, ada bukti itu, mari bawa kita adili secara terbuka. Kita adili para pelakunya berdasar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Nah, saya sampaikan begitu tadi, silakan, kami menunggu, terbuka, dan saya katakan TP3 bukannya juga sudah diterima oleh Komnas HAM diminta mana buktinya secuil saja bahwa ada terstruktur, sistematis dan masifnya. Ndak ada tuh," sebut dia.
"Ada di berita acaranya bahwa TP3 sudah diterima tapi ndak ada, hanya mengatakan yakin. Kalau yakin, tidak boleh, karena kita punya keyakinan juga banyak pelakunya ini, pelakunya itu, otaknya itu, dan sebagainya, yang membiayai itu, yakin kita, tapi kan tidak ada buktinya," ucap Mahfud.
Mahfud Md menyebut pemerintah terbuka terkait kasus Km 50. Mahfud meminta bukti kepada TP3 jika memang ada pelanggaran HAM berat dalam kasus itu.
TP3 sendiri mengklaim pihaknya telah memiliki bukti bahwa peristiwa yang menewaskan 6 laskar FPI itu adalah pelanggaran HAM Berat. Bukti tersebut disebut tertuang dalam buku putih sebanyak 2 jilid.
"Sebagian besar, 90 persen, data sudah kami miliki," kata Ketua TP3 Abdullah Hehamahua kepada detikcom, Selasa (9/3).
Hehamahua mengatakan saat ini TP3 penyusunan bukti-bukti tersebut dalam proses penyelesaian akhir. "Tinggal sedikit lagi berupa pemolesan data-data yang ada," ujarnya.(dtk)