GELORA.CO - Babak baru ‘kudeta’ Partai Demokrat oleh kubu KLB alias kubu Moeldoko kian menegangkan.
Marzuki Alie, Ketua Dewan Pembina kubu Moeldoko mengeluarkan ultimatum agar kantor DPP PD di Jalan Proklamasi, Jakarta diserahkan kepada mereka apabila kubu KLB disahkan oleh pemerintah.
Andi Arief, Ketua Bappilu PD, dalam twitnya menyebut, kubu Moeldoko bisa main ‘gila‘ karena Kemenkumham sulit mengesahkan KLB. Bahkan, Andi menduga, perebutan kantor itu bisa terjadi sebelum tanggal 6 April.
“Kini mereka akan berupaya merebut kantor DPP Demokrat,” cuit Andi, Selasa (30/3) kemarin.
Kubu Moeldoko, diwakili M Rahmad, menolak klaim Andi. Ia menyatakan bahwa jika pemerintah mengesahkan kepengurusan kubu KLB, maka pengambilalihan aset PD dibenarkan oleh Undang-Undang.
Jika benar sinyalemen Andi Arief bahwa kubu Moeldoko akan mengambil paksa kantor DPP PD, maka kejadiannya bakal mirip dengan kisah pengambilalihan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di jaman Orde Baru. Saat itu, oleh kubu Soeryadi yang didukung pemerintah mengerahkan massa untuk merebut kantor partai. Apakah sejarah akan berulang?
Budayawan Yogyakarta, Sahanuddin Hamzah, menilai bahwa pengulangan peristiwa masa lalu itu menunjukkan kegagalan politisi Indonesia mengembangkan strategi dan taktik politik yang kreatif dan inovatif. Apalagi, jika pengambilalihan kantor DPP PD itu dilakukan dengan penggunaan unsur kekerasan.
“Politik kekerasan itu politik yang paling purba. Jika itu terjadi, bisa jadi indikasi bahwa pembangunan peradaban politik jalan di tempat,” ujar perupa dan penyair yang kerap dipanggil Hamcrut ini kepada redaksi, Rabu (31/3).
Lebih lanjut Hamzah menganggap pengambilalihan paksa kantor partai politik sebagai pelanggengan budaya okol, yaitu pendekatan yang mengedepankan kekuatan koersif dan meminggirkan pentingnya negosiasi.
“Demokrasi yang kita gembar-gemborkan itu hanya berhenti di kerongkongan karena nyatanya politisi lebih memilih main kuasa,” tandasnya.(RMOL)