GELORA.CO - Warung Bu Lasiyem di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Sariharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta menjadi sebuah anomali. Warung itu terletak menyempil di antara bangunan Hotel Hyatt Regency --hotel mewah bintang lima di kawasan Sleman.
Pasangan suami istri Tukidi (70) dan Lasiyem (60) adalah pemilik warung tersebut. Dulu, tanah seluas 1.000 meter persegi tempat warung itu berdiri juga sempat ditawar untuk menjadi bagian hotel. Namun, Tukidi menolaknya.
Hingga akhirnya, hotel tersebut dibangun pada 1995 dan diresmikan pada 1997. Warung milik Tukidi tetap pada di tempatnya. Warung dengan menu ramesan itu kini tetap menyempil hingga sekarang.
"Dulu tawaran Rp 25 ribu per meter tahun 1990-an," kata Tukidi ditemui di warungnya, Rabu (3/3).
Pria dengan dua anak dan empat cucu ini selama lebih dari 20 tahun bertetangga dengan hotel seluas 25 hektare.
Bukan tanpa alasan Tukidi menolak tanah ini dijual. Sebab, tanah tersebut merupakan tanah warisan. Sejak 1985 dia sudah tinggal di sana. Selain itu, harganya pun dia anggap kurang cocok.
"Kalau dulu dilepas malah uangnya sekarang sudah habis. Kalau dulu hanya laku Rp 20 juta kala itu. Itu harga (mobil) Kijang tahun 90 itu anyar (baru) Rp 18 juta," ucapnya.
Sampai sekarang, pria ini tak menyesali keputusannya. Bahkan, dia yakin jika dia menjual tanah tersebut seperti mungkin uangnya juga sudah habis.
Lalu, berapa harganya jika tanah tersebut dijual sekarang? Tukidi tidak menjawab dengan gamblang. Hanya saja, perkiraan harga tanah di situ sekarang mencapai Rp 20 juta per meter.
"Harganya makin tinggi sekarang. Sekarang kurang tahu. Mungkin Rp 20 juta per meter," ucap dia..
Secara khusus juga banyak orang-orang yang berpesan kepada Tukidi agar memberi kabar jika hendak menjual tanahnya. Ini saja sudah jadi isyarat tanah tersebut banyak peminatnya.
Toh, memang kawasan tersebut sekarang ramai kampus dan juga indekos. Lebih lagi, menempel hotel dan berada di pinggir jalan.
Menyikapi banyaknya tawaran untuk tanah miliknya, Tukidi tampak tidak tertarik. Dia mengaku masih ingin terus mempertahankan tanah dan warung tersebut, meski setiap tahunnya dia harus membayar pajak Rp 2,5 juta.
Ia yakin, kelak tanah dan warung yang dikelola Tukidi ini akan tetap diwariskan ke kedua anaknya.
"Kalau saya ya warisan saja, kalau sudah meninggal untuk anak-anak," tutup Tukidi. []