OLEH: WIDIAN VEBRIYANTO
Presiden Joko Widodo akhirnya mencabut aturan mengenai investasi industri minuman keras yang tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal pada Selasa (2/3), atau sebulan setelah diteken pada 2 Februari lalu.
Presiden Joko Widodo mengumumkan sendiri pencabutan lampiran tersebut, tidak diwakilkan. Dia beralasan bahwa pencabutan itu dilakukan setelah dirinya menerima masukandari sejumlah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, seperti MUI, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU). Termasuk masukan dari sejumlah kepala daerah dan tokoh agama lain.
Peristiwa pencabutan lampiran ini tentu tidak selesai begitu saja. Pasti ada pihak yang harus bertanggung jawab atas “keteledoran” yang akhirnya membuat presiden menarik apa yang dia tanda tangani.
Saat polemik investasi miras ini muncul, publik sempat kaget dan tidak menyangka Jokowi yang di periode kedua ini didampingi oleh seorang ulama justru membuka kran investasi untuk miras, yang notabene bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
Kiai Haji Maruf Amin ternyata juga telah merasa bahwa dirinya menjadi orang yang paling tersudut atas lahirnya Perpres ini. Setidaknya pengakuan itu sebagaimana disampaikan Jurubicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi.
Baca: Jubir Wapres: Kiai Maruf Paling Tersudut Atas Lahirnya Perpres 10/2021
Pengakuan ini cukup beralasan. Sebab Maruf Amin merupakan mantan Rais Aam PBNU dan mantan Ketua Umum MUI. Bahkan kini Maruf Amin masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah.
Singkatnya, cukup aneh dan janggal jika Maruf Amin ikut “meloloskan” Perpres ini.
Keanehan ini terjawab dengan pernyataan Masduki yang memastikan Maruf Amin tidak tahu perihal penerbitan Perpres. Kata Masduki, Maruf Amin juga kaget saat perpres ini berisi lampiran tentang investasi miras.
"Kiai Maruf tidak tahu. Tiba-tiba aja ke luar ketentuan seperti ini. Karena itu ada dalam lampiran," kata Masduki di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (2/3).
Ormas Islam yang terafiliasi dengan Maruf Amin, juga seirama dengan apa yang disampaikan Masduki. Mereka menolak tegas investasi minol dibuka.
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang bertanggung jawab?
Perpres 10/2021 merupakan aturan teknis dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Kehadiran Perpres (sebelum lampiran miras dicabut Jokowi) membuat bidang usaha miras bisa ditekuni kelompok penanam modal baru.
Investasi disebut bisa dilakukan di empat provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua.
Menariknya, ada peluang juga bagi provinsi lain untuk dilakukan investasi yang sama. Syaratnya, mendapat izin dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia usai mendapat usulan gubernur.
Syarat ini mengindikasikan bahwa Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bisa diduga terlibat aktif dalam perencanaan lampiran ini.
Namun demikan, Bahlil telah meluruskan bahwa usul ini berasal dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Alasannya, karena di daerah yang mengusulkan memiliki kearifan lokal.
“Jadi dasar pertimbangannya, masukan dari Pemda dan masyarakat setempat terhadap kearifan lokal," kata Bahlil dalam sebuah video conference, Selasa (2/3).
Hanya saja, Bahlil tidak tegas menyebut siapa orang yang dimaksud mengusulkan tersebut. Dia justru memberi contoh bahwa minuman arak tradisional asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Sophia atau Sopi.
Disebutkan bahwa larangan penanaman modal asing dan dalam negeri membuat minuman tradisional itu tidak bisa dikembangkan menjadi industri legal yang bisa memberi nilai tambah perekonomian masyarakat.
Terlepas dari siapa yang harus bertanggung jawab atas terbitnya aturan ini, publik juga sudah mahfum bahwa di setiap periode kedua seorang presiden, gejolak selalu muncul. Masing-masing kelompok bersiap untuk mengais kekuatan dan dukungan untuk menuju pilpres.
Jadi bukan hal tidak mungkin bahwa Perpres ini juga bagian dari upaya menggalang kekuatan tersebut. Apalagi, terkadang memang seorang presiden dengan kesibukan yang luar biasa tidak secara detail membaca lembaran demi lembaran draf yang ditandatanganinya.(RMOL)