BAGAI pinang dibelah dua. Itulah Indonesia dan Filipina. Sama-sama negara kepulauan, dan sama-sama memiliki kepemimpinan populisme.
Kontributor Nikkei Asia, Richard Heydarian mengatakan, dua negara terbesar di Asia Tenggara itu juga sama-sama memiliki kedekatan dengan China.
Melalui tulisan berjudul "How Jokowi bested China, while Duterte ended up being a lackey" yang dipublikasi oleh Nikkei Asia pada Senin (29/3), Heydarian menyebut Presiden Joko Widodo dan Presiden Rodrigo Duterte memiliki cara yang sangat berbeda ketika menjalin hubungan dengan China.
Jokowi dan Duterte telah menjadi wajah politik populis di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Keduanya menjajaki karier sebagai mantan walikota hingga akhirnya mencapai ke puncak kekuasaan dengan kampanye melawan korupsi dan narkotika.
Kedua pemimpin itu juga mengandalkan China untuk visi pembangunannya. Meski strategi Jokowi dinilai Heydarian lebih bermartabat dan canggih, jika dibandingkan dengan Duterte.
Menurutnya, Jokowi berhasil mengembangkan hubungan yang relatif sukses berlandaskan rasa saling menghormati dengan China, di mana Indonesia selalu menolak intimidasi dari negara mana pun. Jokowi juga berhasil bermain dengan baik dengan menyeimbangkan diri di antara negara-negara besar.
Di sisi lain, Heydarian menyebut, China memperlakukan Duterte lebih rendah.
"Sementara Jokowi mengandalkan strategi penyeimbang dinamis di antara kekuatan-kekuatan besar, memberinya kelonggaran, Duterte berusaha untuk meninggalkan aliansi Filipina yang telah berusia seabad dengan Amerika Serikat sebagai bagian dari porosnya ke China," tulis Heydarian.
Kenaifan Duterte
Setelah menjadi presiden Filipina, Duterte lebih memilih China, daripada AS atau Jepang untuk kunjungan luar negeri pertamanya. Dia juga presiden Filipina pertama yang menolak bahkan mengunjungi Washington selama masa jabatan enam tahunnya.
Dengan naifan Duterte, China telah menjanjikan investasi hingga 24 miliar dolar AS. Janji kosong itu cukup untuk meyakinkan Duterte untuk terus maju dengan konsesi besar, termasuk untuk tidak menegaskan kemenangan arbitrase Filipina atas Laut China Selatan.
Duterte bahkan mengancam akan menolak kerja sama pertahanan dengan AS dan untuk berbagi sumber daya energi di ZEE. Lebih buruk lagi, Duterte dengan cepat membela Beijing ketika sebuah kapal milisi China yang dicurigai hampir menenggelamkan puluhan nelayan Filipina di dekat Reed Bank pada 2019.
Dengan mengakui rasa "cinta" kepada China, Duterte merasa yakin jika Beijing akan memberikan "belas kasihan". Tetapi sayangnya itu hanya harapan semata.
Hingga saat ini, Duterte tidak berhasil mendapatkan investasi signifikan dari China. Bahkan tidak banyak vaksin Covid-19 yang didapatkannya dari Beijing.
Strategi saling menghormati Jokowi
Jauh berbeda dengan Duterte, Jokowi lebih mengedepankan strategi untuk membangun hubungan saling percaya dan menghormati dengan China.
Bukan hanya melakukan kunjungan ke Beijing, Jokowi juga berkunjung ke Washington untuk menjalin kerja sama keamanan dengan masing-masing negara adidaya.
Ketika China meningkatkan agresivitas ke perairan Indonesia di lepas Kepulauan Natuna pada akhir 2019, Jokowi tidak hanya mengerahkan jet tempur dan angkatan laut, tetapi secara pribadi mengunjungi wilayah tersebut untuk mengingatkan China bahwa tidak akan ada "kompromi" pada masalah maritim dan teritorial.
Meski bukan claimant state, Indonesia telah menyuarakan dihormatinya hukum internasional, termasuk putusan arbitrase yang memenangkan Filipina atas ekspansi China.
Strategi Indonesia untuk menggaet investasi China juga cukup cerdik, yaitu dengan mengundang para pesaing Beijing, termasuk Jepang.
Ketika China mulai menunjukkan gelagat tidak akan memenuhi janji investasi bernilai miliaran dolar untuk proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, Jokowi menggunakan Jepang untuk menarik perhatian.
Alhasil, pada 2019, Jepang dan China menjadi investor asing teratas Indonesia dengan lusinan proyek infrastruktur skala besar.
"Karena Jokowi nyaman memainkan dua raksasa ekonomi itu satu sama lain," kata Heydarian.
Dengan strategi itu, Indonesia mampu memperoleh kondisi yang sangat menguntungkan, bahkan bisa dibilang yang terbaik di bawah Belt and Road Initiative (BRI) China.
"Indonesia telah menunjukkan bahwa bahkan negara-negara termiskin pun memiliki kemampuan untuk membentuk perilaku Beijing," ujar Heydarian
"Keberanian dan kecerdikan strategis Jokowi menunjukkan bahwa tidak semua populis sama, meskipun mereka berkuasa dalam keadaan yang sama tidak menguntungkannya," pungkasnya. (*)