GELORA.CO - Landscape atau bentangan politik di Indonesia jauh berbeda dengan di Amerika Serikat. Sehingga sistem kepemimpinan di Indonesia tidak bisa serta merta meniru Amerika Serikat walaupun kini menjadi negara demokrasi yang maju.
Begitu kira-kira yang hendak disampaikan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief Poyuono dalam acara Mata Najwa “Gaduh tiga Periode” yang digelar pada Rabu malam (17/3). Turut hadir satu meja dengan Arief, pengamat dari Indobarometer, M. Qodari; pakar hukum tata negara, Refly Harun; dan Jurubicara Presiden, Fadjroel Rachman.
Arief mengurai bahwa Amerika Serikat hanya terdiri dari dua partai, sehingga wajar jika jabatan presiden dibatasi dua periode, di mana satu periode adalah empat tahun.
Sementara Indonesia memiliki banyak partai. Sehingga, presiden yang terpilih pasti akan dihadapkan pada masalah konsolidasi di awal pemerintahan. Artinya, waktu untuk benar-benar menakhodai bangsa ini menjadi menipis.
“AS cuma dua partai, Indonesia berkarung-karung. Abis presiden terpilih ya dagang kebo. Artinya tidak ada stabilitas dalam kepemimpinan nasional,” tegasnya.
Kondisi demikian, kata Arief Poyuono, juga akan membuat investor enggan menanamkan modal untuk investasi jangka panjang di Indonesia. Sebab, tidak adanya stabilitas dalam dunia politik.
“Investasi jangka panjang sedikit karena investor takut,” tuturnya.
Arief menekankan bahwa idenya agar jabatan presiden tiga periode bukan serta merta diartikan bahwa presiden akan menjabat selamanya dan menjadi otoriter. Dia yakin 85 persen rakyat Indonesia akan mendukung idenya tersebut.
“Tiga periode itu bukan artinya selama-lamanya,” demikian Arief. [rmol]