GELORA.CO - Pengunjuk rasa Myanmar marah terhadap China. Negeri Presiden X Jinping tersebut dianggap mendukung junta militer Myanmar merebut kekuasaan 1 Februari lalu.
Sekelompok massa bahkan meneriakkan rencana menghancurkan pipa gas terbesar China-Myanmar akhir pekan kemarin. Jalur pipa itu menjadi sasaran kemarahan pendemo di Mandalay, kota terbesar kedua negeri itu.
Mandalay adalah titik jalur pipa di Myanmar yang terhubung dari Samudra Hindia ke China, yang dibangun sejak 2013. Pipa membawa minyak senilai US$ 1,5 miliar sejauh 770 km.
Ujaran kebencian ke China juga datang di media sosial Myanmar. Ini meningkatkan pertanyaan di kalangan bisnis kedua negara. Bukan hanya soal investasi, tapi miliaran dolar yang dialokasikan dalam proyek infrastruktur China, Belt and Road (BRI).
"China, Shame on You. Berhenti mendukung 'pencurian' suatu negara," tulis salah satu plakat protes di luar kedutaan besar China.
Protes datang seiring bocornya dokumen pemerintah Myanmar, 24 Februari 2021. Di mana pejabat China telah meminta junta Myanmar untuk memberikan keamanan yang lebih baik, termasuk data intelijen tentang kelompok etnis minoritas bersenjata di jalur pipa tersebut.
"Menjaga keamanan proyek kerja sama bilateral adalah tanggung jawab bersama baik China dan Myanmar," kata Kementerian Luar Negeri China dalam dokumen tersebut, seraya mengulangi seruan untuk "semua pihak di Myanmar untuk bersikap tenang dan menahan diri" dan untuk menyelesaikan perbedaan yang ada.
"Ini juga akan menguntungkan operasi yang aman dari proyek kerjasama bilateral," katanya.
China telah mengalokasikan sejumlah dana ke proyek-proyek Myanmar. Termasuk proyek pelabuhan senilai US$ 1,3 miliar. Belum lagi zona industry, kota baru di dekat pusat bisnis Yangon dan kereta api.
Menurut pengamat, opini publik yang bermusuhan dengan China, adalah ancaman jangka panjang dan kerusakan bagi rencana China di negara Burma. Ini setidaknya disampaikan Direktur Program China di Stimson Center yang berbasis di Washington, Yun Sun.
"Opini publik yang bermusuhan akan menimbulkan ancaman jangka panjang," tegasnya.
Salah satunya terjadi saat China membuat proyek bendungan Myitsone. Penolakan publik membuat proyek itu sempat tertunda di tahun 2011.
"Opini publik telah diperlakukan sebagai prioritas kebijakan China di Myanmar," katanya.
China pada akhirnya harus mensponsori banyak hal untuk menunjukkan citra baik di publik dan pemimpin politik negeri itu. Mulai dari menyumbangkan tas sekolah hingga sponsor perjalanan inspeksi ke China untuk para pejabat Myanmar.
Hingga saat ini belum ada konfirmasi dari junta militer soal ini. China juga tak memberikan respons.
Namun dalam pertemuan PBB, China yang tergabung dengan Dewan Keamanan PBB meminta deeskalasi kekerasan di Myanmar. Hingga kini total 70 orang meninggal karena kekerasan aparat di Myanmar. (*)