GELORA.CO - Habib Rizieq Shihab (HRS) menyatakan bahwa kasus pelanggaran protokol kesehatan yang menyeret dirinya adalah bentuk dari kejahatan politis dengan tujuan menghabisi dirinya.
Hal ini disampaikan Rizieq saat membaca eksepsi atau surat pembelaan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (26/3/2021).
Pernyataannya ini merujuk pada dakwaan kelima JPU yang menyebut bahwa dirinya adalah pengurus ormas sengaja melanggar ketentuan Pasal 82A Ayat (1) jo 59 ayat (3) huruf c dan d UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas menjadi UU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 10 huruf b KUHP jo Pasal 35 ayat (1) KUHP, yakni merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial.
"Adanya dakwaan kelima yang muncul belakangan semakin meyakinkan bahwa kriminalisasi maulid sangat politis dengan tujuan jahat untuk menghabisi saya dan kawan - kawan," kata Rizieq dalam eksepsinya.
Rizieq mengatakan JPU secara licik ingin menempatkan dirinya dan panitia Maulid sebagai pengurus ormas dalam kasus tersebut.
Padahal kata dia, dirinya maupun panitia Maulid saat ini diadili sebagai individu bukan sebagai pengurus ormas. Lagipula ormas yang dimaksud JPU merujuk pada FPI (Front Pembela Islam), di mana FPI sudah dibubarkan berdasarkan SKB 6 pejabat
setingkat menteri.
Eks pentolan FPI ini mengatakan pasal yang disangkakan JPU atas kasusnya digunakan hanya untuk penuhi nafsu jahat belaka.
Dengan tujuan agar dirinya dan panitia Maulid masuk kategori pengurus ormas yang melakukan tindak kekerasan, mengganggu ketertiban umum, ketentraman serta merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial.
JPU yang menggunakan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP lagi - lagi disebut Rizieq untuk memposisikan dirinya dan panitia Maulid sebagai pihak yang menyuruh atau turut serta dalam kejahatan pidana.
Sadisnya lagi kata Rizieq, JPU memakai Pasal 10 huruf b KUHP supaya dirinya dan panitia Maulid bisa dikenakan sanksi hukum pencabutan hak dan perampasan barang.
Pencantuman Pasal 35 Ayat (1) KUHP dalam dakwaan JPU juga ditujukan untuk mencabut atau merampas sejumlah hak. Seperti hak mata pencaharian, hak bekerja dan jabatan, hak Politik (memilih dan dipilih), hingga hak perwalian anak.
"Saya nyatakan di sini bahwa SKT bukan kewajiban tapi organisasi boleh mendaftar dengan sukarela, sehingga ormas yang tidak mendaftar sekali pun tetap sah sebagai sebuah organisasi, dan boleh melakukan kegiatannya selama belum dibubarkan atau dilarang oleh pemerintah," kata Rizieq.
"Jadi di sini jelas, JPU sangat dungu dan pandir, soal SKT saja tidak paham, lalu dengan kedunguan dan kepandirannya mencoba sebar hoax dan fitnah," tegas dia.
"Sidang ini adalah sidang kasus kerumunan pelanggaran prokes, bukan sidang pembubaran Ormas FPI atau pun tentang sidang pelanggaran anggota atau simpatisan FPI di masa lalu. Jadi, JPU jangan ngawur ngidul bicara yang tidak ada kaitannya dengan kasus sidang ini, karena buang waktu sekaligus menggelikan dan menjijikan," pungkas Rizieq. (*)