GELORA.CO - Langkah pemerintah untuk tidak mengubah UU 10/2016 tentang Pilkada masih menyisakan pertanyaan mendalam. Pasalnya, dengan tidak adanya revisi, maka pilkada akan digelar serentak bersamaan dengan pemilihan presiden dan legislatif.
Artinya, kondisi ini tentu tidak bercermin dari gelaran tahun 2019 yang memakan banyak korban dari petugas pemilu di lapangan. Padahal kala itu hanya pilpres dan pileg yang digabung.
Aktivis Petisi ’28 Haris Rusly Moti heran dengan sikap pemerintah yang keukeuh menolak revisi UU Pilkada. Sikap ini, katanya, berbanding terbalik dengan di tahun 2020 lalu yang memaksakan pilkada serentak tetap digelar padahal pandemi sedang tinggi.
Dia pun menduga, pemaksaan Pilkada 2020 lalu karena ada motif pribadi dalam pilkada
“Sobat, giliran anak dan mantu jadi walikota, pilkada serentak dipaksakan dilaksanakan 2020, walaupun memicu kluster baru Covid. Ketika Covid mulai redup, tapi demi hasrat berkuasa, Pilkada serentak 2022 ditunda 2024,” duganya sembari menyindir kepada redaksi, Selasa (16/3).
Haris Rusly Moti mengaku sulit membayangkan kondisi yang terjadi di 2024 mendatang. Pasalnya akan ada ratusan kepala daerah yang sebatas pelaksana tugas. Bahkan 6 provinsi terbesar di Indonesia dipimpin pelaksana tugas yang pemilihannya sesuai keinginan pemerintah.
“Bayangkan 270 kepala daerah termasuk DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim dan Bali di-Plt-kan dikantongi Pak Lurah. Norak Abis!’ tutupnya. (*)