Oleh:Tony Rosyid
MUSIM hujan sepertinya sudah mulai reda. Tapi, dampak sosial dan politiknya masih terasa. Terutama jika dikaitkan dengan banjir di ibukota.
Faktanya, tidak hanya Jakarta yang banjir, tapi banyak wilayah di negeri ini. Bahkan banjirnya lebih parah dari Jakarta. Bedanya, banjir di luar Jakarta tak seramai di ibukota.
Di Jakarta, banjir jadi objek politik. Tempat para politisi 'numpang iklan;. Partai politik beratraksi. Karena banjir di Jakarta dianggap seksi.
Mari kita bedah lebih dalam.
Banjir di Jakarta ada dua penyebabnya. Pertama, karena hujan ekstrem. Selama hujan kurang dari 100 mm/hari, (kategori ringan, sedang atau lebat), maka Jakarta tak akan tergenang air. Alias bebas banjir.
Ada 1.013 pompa air disiagakan. Baik stasioner, mobile maupun truk pemadam kebakaran. Lengkap dengan 16 ribu petugas yang disiagakan.
Di bawah Gubernur Anies, Pemprov DKI Jakarta tampaknya sangat serius tangani banjir. Memastikan 1.013 pompa air siaga, melakukan simulasi, menyiapkan 16 ribu petugas dan membuat target terukur. Semua ini jadi bukti keseriusan itu.
Bagaimana kalau hujan ekstrem, yaitu lebih dari 100 mm/hari? Air sungai normal, jajaran petugas air mulai bekerja, dan genangan air diperkirakan akan surut dalam waktu 6 jam. Artinya, tidak sampai seharian, air akan surut.
Bandingkan dengan sejumlah wilayah lain. Banjir bisa surut setelah berminggu-minggu. Bahkan sebagian baru surut setelah sebulan.
Kedua, banjir karena kiriman dari wilayah lain. Dalam konteks Jakarta, banjir bisa terjadi karena air dikirim dari Depok atau Bogor. Jika terjadi hujan ekstrem di wilayah Depok atau Bogor, mesti Jakarta berawan, banjir akan terjadi.
Ada sejumlah sungai yang dilewati air dari Depok dan Bogor untuk sampai ke Jakarta. Di antaranya sungai Krukut, Angke, Ciliwung, Mampang, Sunter, dan Pesanggrahan.
Fakta soal sungai, banjir di kawasan Kemang, Jakarta Selatan adalah karena limpahan air dari Sungai Krukut. Sungai itu meluap karena kiriman air dari hulu di Depok, saat hujan ekstrem terjadi di Depok.
Semua kawasan yang tergenang di Jakarta saat banjir 19-20 Februari lalu adalah kawasan tepi sungai lintas provinsi. Seperti Sungai Krukut, Angke, Ciliwung, Mampang, Sunter, dan Pesanggrahan.
Semua sungai lintas provinsi adalah tanggung jawab Kementerian PUPR. Tanggung jawab untuk mengeruk, membersihkan, menjaga semua pintu air dan mengendalikan air. Begitulah regulasinya. Di sinilah perhatian, peran dan kolaborasi pemerintah pusat sangat diperlukan.
Adapun Pemprov DKI bertanggung jawab atas sungai dalam provinsi. Saat hujan 19-20 Februari lalu, semua sungai dalam provinsi terkendali dan tidak menyebabkan banjir.
Dari fakta ini, tampak Anies sangat serius urus banjir. Bahkan boleh dibilang, Anies adalah gubernur pertama dalam sejarah Jakarta yang menetapkan target pengendalikan banjir.
Target yang ditetapkan pertama, jika hujan lokal di bawah 100 mm/hari maka tidak boleh terjadi genangan. Jika ada genangan, itu artinya saluran terhambat dan DKI harus bertanggung jawab.
Kedua, jika terjadi hujan lokal di atas 100 mm/hari maka akan terjadi banjir. Dan begitu air di sungai surut, harus langsung mulai memompa dan ditargetkan surut dalam 6 jam.
Ketiga, jika air kiriman dari hulu sungai (dari Bogor, Depok, dan Tangerang) masuk ke Jakarta dan melampaui kapasitas sungai hingga meluber menggenangi kawasan tepi sungai, maka begitu ketinggian air sungai telah kembali normal, proses pemompaan dimulai dan ditargetkan selesai dalam waktu 6 jam.
Tanggal 19-20 Februari kemarin, curah hujan di Jabodetabek 226 mm/hari, di Pekalongan 183 mm/hari, di Semarang 171 mm/hari. Semua adalah kategori hujan ekstrem. Dan Jakarta paling ekstrem. Meski paling ekstrem, tapi penanganannya paling cepat.
Banjir di Jakarta surut dalam waktu kurang dari 24 jam. Ini fakta yang menunjukkan bahwa kerja serius Anies terukur dan ada hasilnya. Keseriusan Anies bersama jajarannya ini layak diapresiasi.
Di sisi lain, banjir di sejumlah daerah di luar Jakarta masih belum surut hingga beberapa pekan. Dalam konteks ini, Jakarta layak dijadikan model dalam menangani banjir. Serius, terukur, dan cepat.
Ramainya opini tahunan terkait banjir Jakarta, perlu membaca dan membahasnya dengan data yang benar. Jika kita membicarakannya secara objektif, ini akan bermanfaat, terutama untuk mengedukasi publik. Juga untuk memberi masukan kepada Pemprov DKI.
Poin yang bisa kita ambil dari fakta di atas adalah pertama, curah hujan itu di luar kendali manusia. Tapi pengendalian dampaknya ada di tangan manusia.
Kedua, membahas hujan dan dampaknya mesti pakai data. Dengan melihat data, maka ini menunjukkan adanya objektivitas.
Ketiga, fakta bahwa Gubernur DKI Jakarta telah membangun sistem penanganan dampak hujan ekstrem hingga proses pemompaan seluruh wilayah di DKI bisa tuntas dalam satu hari, layak untuk di-support, bahkan dijadikan role model bagi daerah-daerah lain yang biasa terdampak banjir.
Keempat, jangan terjebak dalam provokasi politik dengan ikut salahkan Anies atas curah hujan yang ekstrem. Kritik perlu disampaikan ke Anies hanya jika mantan Mendikbud ini gagal menyurutkan genangan air saat terjadi hujan ekstrem.
Februari 2021 ini jadi bukti nyata bahwa Anies telah menginstruksikan jajarannya, membuat sistem kerja dan berhasil komandoi para petugas hingga Jakarta terbebas dari genangan banjir dalam waktu kurang dari sehari.
Kita berharap Anies bisa istiqamah menjalankan tugasnya dengan baik di tengah banjir bully-an yang seringkali tak proporsional. Terus fokus bekerja, mengayomi dan melindungi semua warganya.
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)