OLEH: SALAMUDDIN DAENG
SILAKAN saja pemerintah memakai dana apa saja milik masayarakat, dana haji, dana jamsostek, dana taspen, dana asabri, dana asuransi, dana pensiun BUMN, dana deposito masyarakat di bank, dana zakat.
Tapi ingat, semua tetap akan menjadi utang pemerintah yang cepat atau lambat harus dibayar. Kalau tidak bisa bayar, atau sengaja tak mau bayar, siap-siap ditawur orang sekampung.
Mengapa? Karena masalah terbesar saat ini yang mau diselesaikan oleh pemerintah itu adalah masalah membengkaknya utang pemerintah. Semua itu didapatkan dari luar negeri dan dalam negeri.
Saat ini kedua jenis utang pemerintah tersebut melebihi Rp 6.000 triliun. Jika rata-rata dari utang tersebut bunganya 7 persen, maka setiap tahun pemerintah wajib membayar bunganya senilai Rp 420 triliun. Itu belum termasuk pokok utang dan jatuh tempo utang.
Jadi utang yang cukup banyak ini memang hanya bisa ditutupi dengan utang baru.
Benar proyeksi pemerintah dan DPR bahwa pemerintah membutuhkan utang dalam masa pandemi Covid-19 ini. Sedikitnya Rp 1.000 triliun, setiap tahun, untuk tetap bisa membayar gaji, tunjangan, perjalanan dinas, biaya membuat undang-undang, dan biaya membuat berbagai kebijakan.
Namun mendapatkan utang dari luar negeri khususnya dari bilateral dan multilateral sangat sulit saat ini. Masing-masing negara fokus membiayai keperluan sendiri.
Demikian juga lembaga keuangan multilateral bertahan agar bisa menggaji pegawainya. Satu-satunya sumber utang adalah menjual obligasi negara dengan bunga yang sangat mencekik.
Sementara penerimaan negara makin seret. Minyak bumi, yang selama ini menjadi andalan pemerintah mendapatkan uang, saat ini tekor karena harga minyak sangat rendah dalam lima tahun terakhir. Komoditas yang lain juga demikian.
Selain itu penerimaan pajak tekor karena perusahaan pembayar pajak banyak yang gulung tikar. Boro-boro bisa bayar pajak, perusahaan Indonesia saat ini sibuk petak umpet dengan debt collector.
Jadi kalau penerimaan negara makin seret, bagaimana pemerintah akan membayar utang yang membengkak ini?
Di bagian lain, Sinuhun harus membiayai infrastruktur mangkrak, merawat infrastruktur berkualitas rendah dan yang porak poranda akibat bencana alam banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.
Betapa malangnya nasib infrastruktur tersebut, padahal Sinuhun hendak menjual dengan harga mahal kepada investor.
Jadi memang jalannya cuma utang baru. Sebagaimana UU Nomor 2 Tahun 2020, Pemerintah dapat menetapkan defisit di atas 3 persen GDP.
Dengan demikian pemerintah menetapkan defisit Rp 1.039 triliun di tahun 2020 dan tahun 2021 defisit juga di atas Rp 1.000 triliun.
Utang sebesar lebih dari Rp 1.000 triliun setiap tahun ini akan diambil pemerintah sampai tahun 2023 yang merupakan batas waktu penggunaan UU Nomor 2 Tahun 2020 atau UU darurat corona.
Tapi, sekali lagi, bahwa untuk dapat utang luar negeri zaman sekarang tidak mungkin, sehingga andalannya adalah menggunakan uang masyarakat Indonesia.
Pemerintah bisa saja menggunakan dana wakaf, dana celengan masjid, atau tabungan agama lainnya, atau dana celengan amal lainnya (harap hati-hati harta anak yatim).
Tetapi pemerintah harus ingat semua itu adalah utang yang harus dibayar tepat waktu. Kalau tidak bisa bayar bakal dikejar sampai ke Solo.