JUDUL tulisan ini latah. Terinspirasi dari banyak tulisan di medsos. "Semua banjir itu dituduhkan Anies!"
Semua orang menganggap ini bahan lelucon. Sedikit hiburan di musim pandemi. Lelucon semacam ini masif di media sosial. Ini bukti kalau publik menyadari bahwa ada pihak yang waswas terhadap Anies.
Kalimat "pokoknya salah Anies" selalu muncul di setiap musim banjir. Meski banjir di Bekasi, tetap itu salah Anies. Banjir di Bogor, salah Anies juga. Banjir di Semarang, Pekalongan, Grobogan, Kudus, pokoknya salah Anies. Mungkin nenek anda mampus, itu salah Anies juga.
Di sisi lain, banjir kali ini telah membuat Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, terlihat panik.
"Jangan dihubungkan dengan pilpres," katanya. "Awas hoax," tambahnya.
Kepanikan Ganjar bisa dimengerti jika kita memahami Ganjar sebagai sosok yang sedang "berupaya keras" untuk bisa ikut kontestasi di Pilpres 2024. Ketika Ganjar, dengan tim medianya, sedang gencar-gencarnya promosi, tahu-tahu banjir hajar Jawa Tengah.
Uniknya, dihajar banjir, ada yang posting tentang naiknya elektabilitas Ganjar. Enggak logis, publik makin curiga. Seolah ini memperkuat tuduhan atas kepanikan kader PDIP ini.
Upaya Ganjar untuk menaikkan elektabilitas, menarik dukungan kader PDIP, dan terutama menggeser Puan Maharani yang isunya akan dijadikan cawapres Prabowo di 2024, bisa terganjal karena banjir.
Tampaknya, Ganjar ingin meniru pola Jokowi saat menggusur Megawati di Pilpres 2014. Jokowi berhasil dengan memanfaatkan elektabilitasnya yang melampaui Megawati saat itu. Bagaimana dengan Ganjar?
Isu "Madam" yang lagi gencar di kasus korupsi bansos boleh jadi angin segar buat Ganjar. Setidaknya, satu persatu "batu sandungan" boleh jadi bisa tersingkir.
Tapi, banjir Jawa Tengah kali ini betul-betul tak disangka viralnya. Bagi Ganjar, ini bisa jadi "petaka politik". Makanya, Gubernur Jawa Tengah ini minta: "Banjir parah di Jateng tidak digoreng jadi isu Pilpres 2024".
Sejumlah daerah di Jawa Tengah langganan banjir. Setiap tahun. Begitu juga sejumlah wilayah yang lain. Tapi, banjir di Jawa Tengah, juga di sejumlah wilayah, tertutup beritanya dengan banjir Jakarta. Media dan medsos isinya tentang Anies yang dianggap tak mampu urus banjir.
Sepi dari isu banjir tahun ini, Anies justru muncul dengan penghargaan dari TUMI (Transformative Urban Mobility Initiative) sebagai salah satu dari 21 Heroes.
"Itu karya Bang Yos (Sutiyoso) dan gubernur-gubernur sebelum Anies", kata salah satu kader PDIP.
Kalau banjir, itu karya Anies. Kalau penghargaan, itu karya gubernur sebelumnya. Seolah-olah di masa sebelum Anies, Jakarta enggak pernah banjir. Dan sejak dilantik, Anies seakan tak pernah bekerja untuk Jakarta, sehingga semua penghargaan itu hasil karya para gubernur sebelumnya.
Yang buruk, karya Anies. Kalau DKI Jakarta dapat penghargaan, itu karya gubernur sebelumnya.
Aneh! Kalau cara berpikir seperti ini lahir dari pedagang asongan, kita bisa maklumi.
Tapi, ini lahir dari elite politik. Naif! Elit bangsa ini perlu belajar bagaimana berpikir rasional, objektif dan lurus. Ini hanya soal kewarasan berpikir saja. Yang memprihatinkan, apakah rakyat akan disuguhi narasi dan praktik politik seperti ini terus?
Ada yang ngetwitt: "Jakarta banjir 15-20 cm". Sementara akun Twitter lain menulis: "Semarang tergenang 1,5 M". Dua akun ini berasal dari institusi yang sama.
Tengok, 15-20 cm dikategorikan banjir. Tapi 1,5 m dikategorikan "tergenang." Ini mungkin hanya soal pilihan narasi saja. Orang Jawa Tengah dikenal lebih santun. Sehingga, 1,5 m itu kategori "tergenang". Saya juga berasal dan besar di Jawa Tengah. Tapi, objektivitas mesti jadi pondasi berpikir.
Banjir mesti dilihat sebagai bencana nasional. No politik, sehingga tidak saling menyalahkan. Yang muncul mesti rasa empati, bukan caci maki. Siapapun pimpinan daerahnya.
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa