GELORA.CO - Pengamat politik Said Salahudin memperkirakan peluang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bakal meredup di Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Pasalnya, mayoritas fraksi di DPR menolak untuk merevisi UU Pemilu.
Dengan demikian, Pilkada DKI Jakarta tetap akan dilaksanakan serentak dengan pilkada daerah lain pada 2024 mendatang, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada.
Begitu juga pilkada daerah lain yang seharusnya digelar di 2022 dan 2023, ditunda hingga 2024.
"Artinya, kalau secara politik Anies tidak ikut pilkada lagi, dan tidak bisa menang ketika digelar pilkada, maka peluang dia di 2024 juga mengecil," ujar Said kepada JPNN.com, Rabu (10/2).
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini mendasari pandangannya mengingat Anies bukan tokoh politik.
Karena itu, ketika tidak lagi menjabat dan menganggur hingga dua tahun, maka popularitasnya akan meredup.
Demikian juga dengan kepala daerah lain yang disebut-sebut berpotensi melaju di Pilpres 2024, bakal bernasib sama dengan Anies.
Untuk diketahui, masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan berakhir pada 2022.
Ridwan Kamil mengakhiri tugas sebagai gubernur Jawa Barat pada 2023.
Ganjar Pranowo juga akan mengakhiri masa tugasnya di periode kedua sebagai gubernur Jawa Tengah di 2023.
"Masa jabatan gubernur Jabar dan Jateng itu berakhir 2023 ya, berarti nama-nama yang saya sebut tadi sulit bisa muncul di 2024. Artinya mereka tentu akan kurang berkibar dibandingkan sedang dalam posisi sedang menjabat," ucapnya.
Said lebih lanjut mengatakan, sebenarnya sangat setuju dengan adanya normalisasi Pilkada di 2022 dan 2023.
Bukan agar peluang Anies melaju di Pilpres 2024 mendatang makin terbuka, namun demi demokrasi yang lebih baik.
"Saya berpandangan, normalisasi justru bagus bagi partai," katanya.
Menurut Said, normalisasi pilkada sebenarnya sangat baik bagi parpol. Mereka dapat menjadikan ajang tersebut sebagai persiapan menuju Pilpres 2024.
"Misalnya dalam menyusun koalisi, saya kira lebih efektif kalau dimulai sejak 2022 atau 2023 jika ada pilkada. Selama ini terkesan koalisi pilpres itu dibentuk di saat-saat injury time," katanya.
Said lebih lanjut mengatakan, koalisi yang dibentuk secara mendadak tidak sehat bagi demokrasi.
"Jadi murni kepentingan politik, bukan bangsa dan negara. Koalisi menjadi rapuh, karena tidak dibikin dari awal dengan serangkaian strategi yang lain. Kemudian juga ini kan mempengaruhi nama yang dicalonkan juga. Coba lihat waktu Pilpres 2019 lalu, nama Sandiaga Uno muncul injury time, apalagi nama Ma'ruf Amin," pungkas Said. (*)