Refleksi Demokrasi, Masihkah Kita Terlalu Nyaman Dengan Ketimpangan?

Refleksi Demokrasi, Masihkah Kita Terlalu Nyaman Dengan Ketimpangan?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Demokrasi adalah kata yang lekat jika disandingkan dengan Indonesia. Namun apakah demokrasi yang diterapkan di tanah air sudah cukup baik untuk diberikan acungan jempol?

Dalam Peringatan Dies Natalis ke-75 Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada di Auditorium, Gedung Law Learning Center, pada Rabu (17/2), Profesor Ilmu Politik Direktur Program Studi Pembangunan dan Globalisasi Kesetaraan (EDGS) Northwestern University Chicago, Amerika Serikat Jeffrey A. Winters, Ph.D. memberikan orasi ilmiah dengan tema besar "Relection on Olgarchy, Democracy and the Rule of Law in Indonesia".

Dalam kesempatan itu, dia mengajak semua orang untuk merefleksikan soal demokrasi, oligarki dan penegakan hukum di Indonesia.

Ketimpangan dan Demokrasi

Winters mengawali orasi ilmiahnya dengan analisa mengenai masalah ketimpangan dan demokrasi. Dia menyoroti soal masalah ketimpangan di masyarakat yang seharusnya bisa diperbaiki oleh demokrasi, namun justru berakhir dengan merusak demokrasi itu sendiri.

Setidaknya ada dua ketimpangan yang jadi pembahasan utama Winters. Pertama adalah ketimpangan kekuasaan, dan kedua adalah ketimpangan kekayaan. Dia membandingkan soal ketimpangan ini dengan oligarchs atau orang yang berkuasa.

Dalam hal ketimpangan kekuasaan, Winters menjelaskan bahwa pemerintahan demokratis dalam bentuk apapun tidak mungkin dilakukan ketika warga negara memiliki ketimpangan kekuasaan yang ekstrim.

"Bahkan jika ada pemilihan yang benar-benar kompetitif, hak pilih universal, dan kebebasan penuh berkumpul, partisipasi, dan akses ke informasi, sebuah sistem masih akan didiskualifikasi sebagai tidak demokratis jika ia memberi hampir semua orang satu suara, tetapi memberi sejumlah kecil warga negara, masing-masing satu juta suara," jelasnya, dalam naskah yang diterima redaksi.

Sedangkan dalam hal ketimpangan kekayaan, menurut Winters merupakan aspek yang sangat ekstrim, mengingat distorsi yang ditimbulkannya dalam demokrasi dan supremasi hukum.

Sayangnya, di Indonesia ketimpangan kekayaan masih perlu menjadi perhatian penting. Winters mengutip dua data sebagai indikator untuk menunjukkan betapa ketimpangan kekayaan di Indonesia perlu menjadi sorotan penting.

Indikator pertama yang dia gunakan adalah data dari Material Power Index (MPI) periode tahun 2010-2020. Data ini digunakan untuk mengukur seberapa besar kekuatan material yang dimiliki oligarchs atau orang yang berkuasa, jika dibandingkan dengan orang pada umumnya.

Data ini dihitung dengan membagi kekayaan rata-rata dari 40 orang terkaya Indonesia (data ini tersedia setiap tahun dari majalah bergengsi Forbes) dengan posisi kekayaan rata-rata penduduk (menggunakan PDB per kapita sebagai proxy). Hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan yang memang sudah besar di Indonesia pada tahun 2010, tumbuh pesat selama dekade terakhir.

"Rata-rata oligarchs teratas di Indonesia memiliki sekitar 570.988 kali kekuatan kekayaan rata-rata warga negara pada tahun 2010. Ini meningkat menjadi 759.420 kali lipat pada tahun 2020, atau meningkat 33 persen," tulisnya.

Artinya apa? Konsentrasi kekayaan di kalangan oligarchs atau orang yang berkuasa.meningkat jauh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di Indonesia.

Untuk indikator kedua, dia merujuk pada data dari Wealth Concentration Ratio (WCR) untuk memberikan gambaran tentang negara mana yang memiliki konsentrasi kekayaan yang ekstrim di puncak.

Data ini dihitung dengan membandingkan median dan kekayaan rata-rata suatu negara dari data yang dikumpulkan oleh Credit Suisse. Sementara itu, kekayaan median sendiri dalam masyarakat adalah titik tengah dalam populasi. Data tersebut menunjukkan, untuk total 171 negara rata-rata memiliki konsentrasi kekayaan yang tinggi, mendekati puncak.

Merujuk pada data WCR pada tahun 2019, Indonesia menduduki posisi kedelapan sebagai negara dengan rasio 5,3 berbanding rata-rata dunia 3,0.

Atinya apa? Indonesia memiliki konsentrasi kekayaan yang cukup ekstrim di puncak, alias di kalangan oligarchs .

"Oligarchs adalah aktor yang diberdayakan secara politik dan sosial oleh kekayaan," ungkap Winters.

Sedangkan kekayaan yang terkonsentrasi, sambung Winters, selalu mengundang ancaman bagi mereka yang memiliki kekayaan besar. Ancaman tersebut bisa vertikal atau horizontal.

"Orang yang tidak kaya dari bawah dapat mencoba mengambil kekayaan dari mereka yang berada di atas. Dari atas, negara dapat mengambil kekayaan dalam bentuk pajak tinggi dan mendistribusikannya kepada orang lain di masyarakat," jelas Winters.

Ketimpangan dan Penegakan Hukum

Winters lebih lanjut mendefinisikan oligarki bukan sebagai bentuk pemerintahan, tetapi sebagai politik mempertahankan kekayaan.

"Hal penting tentang oligarchs yang tertanam dalam sistem politik apa pun, dari otoriter hingga demokratis, adalah bahwa kekayaan itu sendiri adalah instrumen kekuasaan khusus mereka," ujarnya.

Ada dua faktor kunci yang menentukan kekuatan politik oligarki. Faktor pertama adalah bentuk kekayaan mereka.

"Saya mungkin kaya karena saya memiliki 10 juta ekor sapi. Tetapi ternak sulit digunakan untuk pengaruh politik. Sehingga aset keuangan adalah bentuk kekuatan kekayaan yang paling serbaguna dan kuat. Uang dapat digunakan untuk berbagai tujuan politik," jelasnya.

Sedangkan faktor kedua adalah seberapa mudah kekuasaan kekayaan dapat digunakan dalam sistem politik tertentu.

"Saya mungkin memiliki banyak uang, tetapi undang-undang keuangan yang ketat dan ditegakkan secara agresif, mungkin mencegah saya membelanjakannya untuk kandidat atau partai. Ini tidak berarti bahwa uang oligarchs atau orang yang berkuasa tidak berguna selama pemilihan, tetapi itu berarti bahwa mereka harus lebih berhati-hati tentang bagaimana mereka membelanjakannya untuk memastikan kandidat dan kebijakan mereka menang," sambungnya.

Sedangkan di Indonesia, terkadang oligarchs memilih langkah untuk mendukung partai atau kandidat dan membuat partai serta berkampanye sendiri.

"Ini telah terjadi di Indonesia baik di tingkat nasional maupun regional, dan ini merupakan pola yang telah berkembang selama dekade terakhir di negara demokrasi lain di seluruh dunia," sambungnya.

Menurut Winters, penggunaan kekuatan kekayaan itu sendiri tidak terbatas pada kampanye dan pemilihan. Oligarchs dapat mengirimkan dana kepada legislator dan politisi untuk mendapatkan keputusan yang menguntungkan tentang undang-undang dan kebijakan seperti pajak, tenaga kerja, peraturan investasi, atau untuk memenangkan kontrak besar pemerintah. Mereka dapat menyewa preman untuk mengintimidasi orang atau institusi, atau menyewa orang banyak untuk mensimulasikan protes rakyat serta untuk menghindari konsekuensi hukum. Pasalnya, mereka dapat menyuap polisi, jaksa, dan hakim. Semua ekspresi kekuasaan ini cukup terlihat dan ini tidak dimiliki warga negara biasa.

Kekuatan ekstrim yang terkonsentrasi di beberapa tangan, merongrong supremasi hukum dengan cara yang sama mendistorsi demokrasi. Dan sistem hukum tunduk pada yang kuat daripada yang kuat tunduk pada hukum, urainya.

Oligarchs dan elit memblokir pembentukan negara hukum ketika kekuatan pribadi mereka cukup untuk membelokkan dan mempengaruhi sistem hukum untuk keuntungan mereka. (RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita