GELORA.CO - Fraksi PKS merasa heran dengan sikap sejumlah fraksi di DPR RI yang menyatakan penolakan terhadap RUU Pemilu. Keempat fraksi itu adalah PAN, PPP, PKB, dan PDIP.
Pemerintah, melalui Kemendagri, memang telah menyatakan keberatannya terhadap RUU Pemilu. Namun jika melihat prosesnya, RUU Pemilu kini telah masuk ke Baleg DPR RI untuk diharmonisasi.
Pasalnya, pembahasan di Komisi II semua setuju bahwa UU Pemilu perlu direvisi, namun beberapa partai justru kini menolak setelah masuk Baleg.
Demikian disampaikan politisi PKS, Mardani Ali Sera saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu di Jakarta, Senin (1/2).
“Pembahasan RUU Pemilu dari Komisi II sudah selesai. Sekarang ada di Baleg. Namun anehnya, ada mulai beberapa partai menolak revisi, padahal ketika di Komisi II mereka perlu revisi,” kata anggota Komisi II DPR RI itu.
Politikus PKS ini menegaskan, revisi UU Pemilu sangat diperlukan mengingat evaluasi Pemilu 2019, ketika 894 petugas KPPS meninggal, serta proyeksi munculnya ratusan Plt (pelaksana tugas) akibat nihilnya pilkada serentak tahun 2022 dan 2023.
Menurutnya, hal ini dapat menjadi pertimbangan serius untuk merevisi UU Pemilu. Kemunculan Plt ditakutkan akan memunculkan oligarki yang terstruktur.
Bagi Mardani, alasan tidak revisi karena belum lima tahun merupakan alasan yang naif. Sebab, yang paling esensi adalah ratusan daerah akan dipimpin pelaksana tugas untuk masa yang panjang.
"Ini amat berbahaya, bisa melahirkan tirani baru, bisa melahirkan oligarki yang terstruktur,” tegasnya.
Selain itu ada juga soal koreksi pelaksanaan Pemilu 2019. Khususnya soal ratusan petugas KPPS yang meninggal.
“Jadi revisi perlu agar kita tidak jatuh di lubang yang sama," sambungnya.
Politisi PKS ini juga mengkhawatirkan polarisasi hebat pada Pemilihan Presiden 2019 lalu tetap akan berlanjut bila UU Pemilu tidak direvisi. Hal ini terjadi karena ambang batas pencalonan presiden yang cukup tinggi, yakni 20 persen.
Mardani menawarkan revisi pada poin tersebut dengan menurunkan ambang batas pencalonan presiden menjadi 10 persen kursi atau 15 persen suara. Baginya menurunkan ambang batas adalah salah satu upaya menyehatkan demokrasi.
“Bongkar barrier to entry, maksimal 10 persen kursi atau 15 persen suara. Menurunkan threshold, presiden dan pilkada, merupakan bagian dari menyehatkan demokrasi,” pungkasnya.(RMOL)