GELORA.CO - Petani yang lahannya masuk ke dalam program lumbung pangan atau food estate mengeluhkan penurunan hasil produksi gabah bahkan berujung gagal panen. Penyebabnya tidak lain anjuran yang keliru pemerintah.
Kepala Desa Belanti Siam Kecamatan Pandih Batu Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah Amin Arifin mengatakan pemerintah meminta dalam setahun ada tiga kali masa tanam, padahal semestinya hanya dua kali. Pemerintah mau waktu tanam dipercepat ke November-Desember, padahal biasanya petani baru menanam lagi pada Maret-April tahun berikutnya.
“Petani sudah menyampaikan dan menegaskan bahwa kebiasaan atau tradisi di daerah setempat hanya dua kali,” ucap Amin di Pulang Pisau, Rabu (27/1/2021), seperti dilansir dari Antara.
Petani awalnya tidak sependapat karena menanam pada November-Desember rawan serangan tikus dan hama. Bila dipanen pada Januari, hasilnya pun tak akan memuaskan karena pengaruh musim penghujan. Belum lagi kencangnya angin turut membuat banyak padi roboh.
Namun akhirnya sebagian dari petani mengikuti anjuran ini. “Pemerintah tetap memajukan musim tanam dengan membantu saprodi (sarana produksi) kepada petani,” tambah Amin.
Gara-gara perubahan pola tanam ini, hampir 90 persen petani tidak mendapatkan hasil panen yang memuaskan dari lahan seluas 1.000 hektare (Ha). Petani di Desa Belanti Siam pun hanya memperoleh hasil 1,5 ton gabah per Ha sawah, bahkan ada yang kurang dari itu, padahal biasanya mencapai 3,5-4 ton.
Dampak perubahan pola tanam juga dilaporkan oleh Kelompok Tani Sido Mekar di Desa Belanti Siam. Melansir Kompas.id, petani hanya mampu menghasilkan 1,4 ton per Ha padahal biasanya 3-4 ton.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian Sarwo Edhy membantah kabar itu. Sarwo bilang Kementan telah menghubungi Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kalteng untuk mengecek lapangan, dan hasilnya dia mengklaim Kepala Desa Belanti Siam tidak pernah bertemu dengan wartawan Antara yang menulis berita itu, bahkan menudingnya sebagai tulisan lama.
“Artinya apa? Kalau menurut kami food estate ini berhasil,” ucap Sarwo dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPR RI, Selasa (2/2/2021).
Menariknya, Sarwo tak membantah penurunan panen petani Belanti Siam yang dikabarkan Kompas.id. Meski demikian, ia bilang penyebabnya bukan perubahan pola tanam, melainkan gangguan hama tikus. Sarwo bilang, “daripada habis sama tikus, jadi dipanen.”
Ketika ditanya berapa Ha lahan yang diserang hama tikus, Sarwo mengaku tak dapat menjawab dengan alasan, “belum kami monitor.”
Faktor lain, ada 370 Ha dari total 10.000 Ha lahan sawah di Pulang Pisang yang tergenang air sehingga belum bisa ditanam. Ada pula sebagian masyarakat yang masih memilih menanam di Februari-Maret.
Di luar lahan yang tak mengalami gangguan, Sarwo justru mengklaim produksi lahan petani yang masuk food estate tetap mampu meningkat dari rata-rata 3-4 ton per Ha menjadi 5,6-6,4 ton per Ha. Hal ini berkebalikan dengan yang dilaporkan petani.
Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan penurunan produksi yang diderita sebagian petani Belanti Siam memang terkait pola tanam. Ia bilang perubahan itu menyebabkan petani harus memanen saat puncak musim hujan pada Januari-Februari ini. Padi berisiko mengalami rebah, yang berarti kondisi bulir gabah terendam air sehingga mutunya menurun.
“Kalau tanaman tenggelam gimana? Produksi akan menurun,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Rabu (3/2/2021).
Di luar itu, Dwi meyakini tidak ada masalah terkait lahan karena sebagian besar sawah di Belanti Siam adalah lahan eks transmigrasi tahun 1980-an dan bukan termasuk lahan gambut satu juta Ha peninggalan Orde Baru yang gagal dikembangkan untuk pertanian. Pendeknya, lahan itu sudah stabil dan memiliki tata kelola yang baik.
Kalaupun terjadi masalah, menurutnya sudah hampir pasti disebabkan perubahan-perubahan oleh pemerintah yang menggeber target food estate baru-baru ini.
Koordinator Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Katingan Kalteng Enjang Richard juga ragu dengan penjelasan Kementan yang menuding hama sebagai biang keladi turunnya produksi. Setahunya lahan di Kalteng relatif basah karena hujan dan banjir sehingga potensi hama seperti tikus semakin kecil karena sulit berkembang biak pada kondisi itu.
Saat ini tantangan petani di Kalteng masih terkait dengan sistem iklim dan kadar air yang tidak seideal Jawa. Hal ini membuat pola tanam tiga kali per tahun sulit dapat dilakukan di Kalteng.
Menurut Richard, jika pemerintah mau memberlakukan pola tanam tiga kali, maka seharusnya melewati masa uji coba dulu tanpa unsur memaksa petani. Richard bilang belum tentu semua petani dapat langsung menyesuaikan diri dengan metode baru itu, apalagi jika masih kurang dibina.
“Dari sistem dan iklim rasanya untuk tiga kali per tahun seperti Jawa itu kemungkinan tidak bisa. Kecuali kalau ada bantuan teknik khusus dan manajemennya, kami setuju,” ucap Richard kepada repoter Tirto, Rabu. []