GELORA.CO - Wakil Sekretaris Jenderal PKS Ahmad Fathul Bari meminta Presiden Joko Widodo membuktikan keseriusan ajakan untuk melancarkan kritik ke pemerintah dengan melakukan revisi terhadap UU ITE.
Menurut Fathul Bari, sudah saatnya dilakukan revisi terhadap UU ITE, karena pada aplikasinya banyak sekali kasus memidanakan seseorang karena alasan pencemaran nama baik, penghinaan, dan ujaran kebencian yang justru mengarah kepada pembungkaman suara kritis dari publik.
Hal itu, kata dia, bertolak belakang dengan semangat UU ITE di awal yang dibuat untuk menjerat para pelaku yang melakukan tindak pidana penipuan secara online.
"Pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar pemerintah dikritik harusnya dijawab dengan upaya beliau agar unsur pemerintah dan aparat lainnya terbuka terhadap berbagai kritik, menutup kemungkinan penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik publik," kata Fathul Bari kepada wartawan, Minggu (14/2).
"Serta melalukan inisiatif untuk melakukan revisi terhadap beberapa pasal "karet" dalam UU ITE, baik inisiatif dari unsur pemerintah dan juga mendorong inisiatif mayoritas parpol koalisi pemerintah dari unsur DPR untuk bersama-sama melalukan revisi," imbuhnya.
Fathul menyebutkan, dalam kenyataan di lapangan, berdasarkan data SAFEnet tahun 2016-2020, tingkat penghukuman pada UU ITE cukup tinggi.
Yakni sebanyak 744 perkara (96,8 persen) dan pemenjaraannya sebanyak 676 perkara (88 persen), yang banyak memakan korban dari dari kelompok kritis seperti jurnalis, aktivis, dan pembela HAM, bahkan para pelapornya lebih banyak dari kalangan pejabat publik.
Hal tersebut, papar dia, juga menjadi cerminan dari dua hasil rilis terkait Corruption Perception Index dari Transparency International dan Democracy Index dari Economist Intelligence Unit yang keduanya menunjukkan hasil menurun bagi Indonesia.
"Bahkan angka indeks demokrasi terburuk selama 14 tahun terakhir, dan keduanya sama-sama menyiratkan adanya kualitas demokrasi yang kurang baik karena suara kritis publik yang kurang didengarkan bahkan seolah dibungkam, yang salah satunya mungkin terjadi karena kekhawatiran adanya pemidanaan menggunakan UU ITE ketika mau menyampaikan kritik,” tandasnya. (RMOL)