GELORA.CO - Sikap tegas Ketua Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta, KH Jamaluddin F Hasyim, yang ikut mendorong aparat kepolisian menuntaskan kasus twit 'Islam Arogan' membuatnya menerima banyak kritikan.
Jamaluddin mengungkapkan, para pengkritiknya menganggap Abu Janda adalah meriam yang efektif menyerang kelompok Islam radikal dan intoleran yang umumnya anti-Nahdlatul Ulama atau NU.
"Menurut mereka, Abu Janda harusnya dibela bukan malah dicaci. Abu Janda dianggap berjasa membela para kiai ketika beliau-beliau diserang kelompok 'seberang'. Intinya Abu Janda adalah sahabat kita," kata Jamaluddin, Senin (1/2).
"Terus saya mesti bilang 'wow' gitu?" sambungnya menyindir para pengritiknya.
Jamaluddin menilai, setidaknya ada enam alasan kasus Abu Janda harus diproses hukum secara tuntas.
Pertama, dalam struktur nalar seperti diungkapkan para pengkritiknya, bahwa Abu Janda hadir sebagai kekuatan tambahan untuk menghadapi kelompok intoleran dan anti NU.
"Lantas darimana Abu Janda muncul, apa motifnya, tuluskah dia untuk membela keyakinan para ulama NU? Benarkah dia pejuang sejati yang hadir semata untuk tugas mulia itu? Daftar pertanyaan ini mungkin tidak penting bagi mereka," kata Ketua Yayasan Dakwah Syi'arul Islam ini.
Kedua, kapasitas keilmuan dan kompetensi untuk melakukan tangkisan, benarkah boleh dilakukan oleh sembarang orang, hanya modal nekat dan berani?
"Bukankah kita selama ini mengkiritik para pendakwah yang baru bisa agama, tanpa kompetensi, sudah ceramah dan fatwa sana sini? Apakah kritik kita kepada mereka tidak berlaku jika itu dilakukan untuk "membela" kita?" ungkap Jamaluddin, dikutip Kantor Berita RMOLJakarta.
Ketiga, simbol mulia NU dan Ansor/Banser apakah boleh digunakan sembarang orang tanpa mempedulikan bahwa dibalik simbol itu terdapat harga diri, nama baik, dan cita-cita luhur pendirinya.
"Keempat, tampaknya berlaku 'enemy of my enemy is my friend'. Musuhnya musuhku adalah temanku. Dengan logika yang sama, maka musuhnya Israel adalah temanku, misalnya China dan Rusia. Musuhnya FPI adalah temanku. Jika FPI dimusuhi pelaku bisnis maksiat, apakah pelaku bisnis maksiat itu adalah teman kita," beber Jamaluddin.
Kelima, menurut Jamaluddin, Abu Janda tidak berangkat dari ruang hampa. Ia masuk medan perang dengan kesadarannya, tim media sosialnya, bahkan mungkin sponsor dananya.
"Abu Janda tidak sama dengan mahasiswa yang demo yang masih polos dan hanya tahu teriak membela keyakinannya. Seringkali kepolosan mahasiswa itu dimanipulasi oleh kepentingan tertentu," kata Jamaluddin.
"Pertanyaannya, siapakah di belakang Abu Janda ini? Apa motif ia membiayai Abu Janda? Benarkah murni memerangi radikalisme dan intoleransi? Jika benar, apakah sikap kritis yang sama ditunjukkan Abu Janda jika pelaku intoleransi berasal dari non muslim? Jika hanya 'galak' kepada muslim dan bungkam untuk nonmuslim, bagaimana kita membacanya? Sejarah yang bisa menjawab," papar Jamaluddin.
Keenam, glorifikasi berlebihan terhadap Abu Janda menyiratkan seakan para ulama tidak berdaya menghadapi serbuan opini negatif dari pihak lain sehingga keberadaan Abu Janda patut disyukuri.
Jamaluddin pun menganggap lucu apabila menganggap para ulama perlu amunisi tambahan untuk menghadapi serangan itu.
"Jangan gitu dong. Para ulama kita sudah terbukti sekuat karang menghadapi serangan kepada mereka, baik opini maupun bahkan serangan fisik," ujar Jamaluddin.
"Jadi, soal Abu Janda santai saja. Dia salah ya harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Jangan pula berpayah diri membelanya seakan dia aset berharga. Paling tinggi dia itu sekutu dalam menjaga NKRI tercinta. Tidak lebih. Tanpa glorifikasi," pungkasnya.
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Abu Janda pada hari ini, Senin (1/2).
Abu Janda akan dimintai keterangan Bareskrim terkait unggahannya di Twitter yang menyebut “Islam Arogan”.
Hal ini merupakan tindaklanjut ke Bareskrim Polri atas pelaporan Abu Janda oleh DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang dimotori Ketua Umum Haris Pertama. (RMOL)