GELORA.CO - Da'i kondang Ustadz Abdul Somad memberikan Tausiyah Nasional bertajuk "Kode Etik Jurnalistik Dalam Perspektif Islam" dalam acara Ulang Tahun Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) ke-1 pada Sabtu (8/2) siang ini.
Dalam tausiyahnya, UAS, sapaan karib Ustadz Abdul Somad memaparkan sepuluh poin tentang hal-hal yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi Jurnalis dalam kode etik yang sesuai dengan ajaran Islam.
UAS mengurai, prinsip dasar yang harus dimiliki seorang jurnalis yakni mengedepankan asas praduga tak bersalah. Dalam hal ini memandang segala sesuatu dari kerangka objektivitas hingga menghasilkan berita yang objektif dan memiliki asas kebermanfaatan.
Pertama, dalam Islam itu manusia suci bersih, dalam bahasa hukumnya asas praduga tak bersalah. Asal mula manusia itu fitrah suci bersih, tidak ada salah dan dosa.
"Maka setiap jurnalis memandang manusia itu bukan dari suudzon, bukan dari perspektif jelek atau negatif tapi dia hukum asalnya bersih. Jadi sebagai seorang jurnalis yang dilihat itu objek, objek adalah bersih suci bukan berangkat dari subjektivitas," ujar UAS.
"Berangkat dari objektivitas bahwa hukum asalnya dia adalah bersih, siapapun dia apapun agamanya, maka dia berasal dari kesucian itu," sambungnya.
UAS menambhakan, dalam hadis Rasulullah SAW dikatakan; 'Maa Min Mauludin Illa Yuuladu Alal Fitrah' yang artinya setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah.
Maka, kata UAS, media sedianya menampilkan kesucian, kebersihan, pribadi.
Kedua, islam itu datang untuk menjaga 5 hal Hifzul Aqli (menjaga akal), hifzun nafs (menjaga nyawa), hifzul maal (menjaga harta), hifzun nasal (menjaga keturunan), hifzul syarf (menjaga kehormatan orang).
Menurut UAS, konteks 'hifzul syarf' ini sangat erat kaitannya dengan kode etik jurnalistik. Pasalnya, anjuran untuk menjaga kehormatan manusia dan tidak boleh dirusak.
"Maka tidak boleh caci maki, sumpah serapah, merusak nama baik, baik itu suku agama bangsa dsb. Jadi nilai-nilai inilah yang disusun oleh para ulama sumbernya Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhamad Saw," jelasnya.
UAS menuturkan, JMSI disini sedianya turut berijtihad untuk bisa mengangkat kode etik dalam konteks menjaga kehormatan ini dari hal-hal yang bersifat universal. Sehingga akan menjadi rahmat bagi para jurnalis, dan dia juga bagi objek yang disampaikan oleh jurnalis.
"Karena kedatangan Islam adalah salam atau kedamaian," tuturnya.
Poin ketiga, UAS menyebutkan bahwa dalam Islam apabila ada suatu berita itu tidak boleh ada orang yang mendengar satu arah saja. Dia mesti ada konfirmasi, klarifikasi, check and rechek dalam sebuah berita.
"Karena berita kalau yang sudah menyebar sulit untuk menariknya kembali. Maka di islam ada istilah klarifikasi yang dikenal dengan istilah Tabayyun," kata UAS.
Keempat, UAS mengatakan bahwa jurnalis dan produk jurnalistik tidak boleh berisi caci maki orang. Sekalipun ia menyembah selain Allah. Hal ini bisa berpotensi terjadinya konflik yang luar biasa.
"Menarik, menyembah selain Allah itu dosa paling besar, syirik, dan syirik tidak terampuni. Kenapa? Karena kalau kamu caci orang yang tidak menyembah Allah, nanti mereka akan membalas mencaci Allah tanpa ilmu dan akan terjadi konflik yang luar biasa," tuturnya.
"Artinya apa? Kamu jelaskan tentang ajaran islam tapi dengan cara bahasa diksi menjelaskan seperti Al-Qur'an," imbuh UAS.
Kelima, jurnalis dan produk jurnalistik tidak boleh ada logika generalisir.
UAS mencontohkan perilaku nabi Muhammad Saw dalam peristiwa Piagam Madinah.
Ketika Nabi Muhammad Saw pindah ke Madinah, beliau disana beliau berhadapan dengan non muslim Yahudi. Didapati orang Yahudi melakukan kesalahan, namun Nabi Muhammad hanya menyebutkan personalnya alias tidak mengeneralisir.
"Maka jangan dikatakan Hei Yahudi, kenapa? Karena tidak semua Yahudi kena. Mereka tidak sama tidak semuanya jahat. Mengeneralisir semuanya tidak dibenarkan. Kenapa? Karena itu akan memicu konflik dan keresahan massal. Ada masalah baru," kata UAS.
Keenam, bahwa tidak dibenarkan ada ghibah atau gosip. UAS menegaskan bahwa dalam hadits ada perintah 'janganlah kamu bicarakan aib orang lain'.
Namun begitu, UAS memiliki cerita saat dirinya masih kecil ada stereotipe terhadap wartawan yang terkesan buruk. Padahal, hal ini karena orang-orang sulit membedakan mana gosip mana fakta.
"Ada ungkapan silahkan jadi polisi, dll jangan jadi wartawan karena menceritakan aib orang saja. Jadi mereka tidak bisa membedakan kapan orang memberitakan sesuatu dan kapan ghibah," ujarnya.
Maka dari itu, UAS menyebut, dalam hukum Islam, setelah diteliti, orang boleh mengungkapkan sesuatu yang tidak baik dengan 3 alasan: Pertama, hakim di pengadilan bertanya kepada saksi. Jadi tidak dikatakan ghibah. Kedua, saat orang ingin bertanya suatu hukum. Ini tidak ghibah atau gosip. Karena bagaimana mungkin kita bisa menjawab pertanyaan. Ketiga, menunjukkan bahwa mana yang haq dan bathil.
"Nah disini peran media," tegasnya.
"Jadi ketika sahabat-sahabat dari JMSI memberikan suatu kebathilan sesungguhnya dia tidak sedang melakukan gosip tapi dia sedang menunjukkan bahwa yang bathil itu salah. Yang Haq itu Haq dan yang Hoaks itu bathil. Siapa yang bisa menjelaskan itu? Media karena ini orang mendapatkan berita dari media," imbuhnya menegaskan.
Poin ketujuh, menghindari pornografi.
UAS mengatakan, Al-Quran bercerita tentang macam-macam hukum, tetapi bahasa, diksi, dipilih amat sangat lembut. Bahkan ketika Al-Qur'an bercerita tentang hubungan kelamin ditulis 'menyentuh kulit'.
"Laa Mastumun Nisa' secara tekstual artinya menyentuh kulit tapi artinya hubungan kelamin (bersetubuh)," urainya.
Selanjutnya poin kedelapan, UAS menyatakan bahwa bagaimana Islam itu berkembang yaitu melalui jaringan orang-orang yang datang kepada nabi.
"Lalu dia pulang ke kampung halamannya dia sebagai Media," tuturnya.
Ketiga pesan Islam ini (Aqidah, Fiqih, Akhlaq) disampaikan melalui Media. Apa media yang dipakai itu? Jamaah yang bertebaran. Ada 12 ribu periwayat hadist.
Kesembilan, bahwa orang yang menyampaikan berita yang benar dia mendapat pahala.
Masih kata UAS, ketika dia menyampaikan berita yang tidak benar maka sesungguhnya ada dua hukuman; dunia dan akhirat. Karana dia khianat karena dia tidak punya amanah ilmiah. Amanah adalah lawannya khianat.
"Ada amanah dalam berita. Ini lebih mengerikan ketika orang mempermainkan berita hanya untuk 'setengah sayap nyamuk' atau dunia. Jadi ada balasan luar biasa karena dia sudah menebar kebaikan," kata UAS
Kesepuluh, bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw, maka dia akan melihat segala balasan perbuatannya yang dia terima hari ini.
"Sebesar biji sawi pun dia sampaikan terinspirasi orang lain maka dia akan mendapatkan keberkahannya dan sebesar tapak kaki semut yang hitam diatas bukit yang hitam di malam yang kelam, kalau itu menimbulkan masalah maka dia juga akan mendapatkan dosanya," kata UAS.
"Dan kita berharap apa yang kita lakukan hari ini tidak sekadar dunia oriented tapi diisi dengan semangat spiritualitas ada semangat iman didalamnya, sehingga kita menjadi orang-orang yang bertanggung jawab dalam setiap tulisan, berita, apapun yang kita tebarkan," tutupnya. (RMOL)