GELORA.CO - Hubungan Kepala Staf Presiden (KSP), Jenderal Purn Moeldoko dengan Partai Demokrat memanas.
Hal ini setelah Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono menyebut adanya gerakan oleh orang di lingkaran Presiden Joko Widodo yang hendak mengambil alih kepemimpinan Demokrat secara paksa.
Pernyataan AHY disampaikan dalam konferensi pers secara virtual, Senin (1/2/2021).
"Adanya gerakan politik yang mengarah pada upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa, yang tentu mengancam kedaulatan dan eksistensi Partai Demokrat," kata AHY di Taman Politik, Wisma Proklamasi DPP Demokrat.
Putra sulung Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini memang tidak menyebut secara langsung nama Moeldoko dalam pernyataanya.
Namun demikian, melalui akun media sosial, sejumlah petinggi Demokrat secara jelas menyebut orang di lingkaran Jokowi yang dimaksud adalah Moeldoko.
Seiring kabar tersebut, foto Moeldoko saat dilantik oleh SBY menjadi Panglima TNI pada tahun silam kembali mencuat di lini masa twitter.
Foto tersebut diunggah oleh akun Twitter resmi SBY, @SBYYudhoyono pada 30 Agustus 2013.
Dalam foto tersebut, SBY didampingi istrinya, Ani Yudhoyono terlihat memberi ucapan selamat terhadap Moeldoko yang juga didampingi oleh sang istri.
"Presiden SBY lantik Jenderal Moeldoko sbg Panglima TNI & Letjen Budiman sbg Kepala Staf Angkatan Darat yg baru," tulis SBY kala itu.
Cerita Pengangkatan Moeldoko sebagai Panglima TNI di Masa SBY
Untuk diketahui, Moeldoko menjadi Panglima TNI di era Presiden SBY.
Lantas bagaimana cerita pengangkatan Moeldoko saat itu?
Dikutip dari pemberitaan Kontan pada 30 Juli 2013, Moeldoko yang sebelumnya menjabat sebagai KSAD diajukan sebagai calon tunggal Panglima TNI oleh SBY.
SBY mengajukan Moeldoko untuk menggantikan Panglima TNI saat itu, Laksamana Agus Suhartono yang memasuki pensiun pada 25 Agustus 2013.
Surat pengajuan Moeldoko sebagai calon tunggal Panglima TNI diserahkan SBY ke DPR pada 23 Juli 2013.
"Dalam surat tersebut, Presiden hanya mengajukan satu nama, yakni Jenderal Moeldoko," kata Wakil Ketua DPR masa itu, Priyo Budi Santoso, di Gedung DPR, Selasa (30/7/2013).
Moeldoko dipilih SBY yang saat itu menerima tiga usulan nama dari Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.
Tiga nama yang diusulkan Agus yakni tiga kepala staf di masa itu yakni Kepala Staf TNI AD, Jenderal Moeldoko; Kepala Staf TNI AU, Marsekal Ida Bagus Putu Dunia; dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Marsetio.
Dalam pengajuan tersebut, Moeldoko berada di daftar pertama.
"Gilirannya (Panglima TNI) kalau tidak Angkatan Udara, yah Angkatan Darat. Sangat mungkin kembali ke Angkatan Darat," kata Agus di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (21/5/2013).
Hanya Tiga Bulan Jabat KSAD
Moeldoko naik menjadi Panglima TNI dalam waktu yang sangat singkat dan terpendek dalam sejarah milier.
Hal ini karena Moeldoko hanya menjabat sebagai KSAD selama tiga bulan.
Ia dilantik sebagai Panglima TNI oleh SBY pada 30 Agustus 2013.
Tiga bulan sebelumnya, tepatnya pada 20 Mei 2013, Moeldoko diangkat menjadi KSAD menggantikan ipar SBY, Jenderal Pramono Edhie Wibowo.
Sebelum menjabat KSAD, Moeldoko menjabat sebagai Wakil KSAD.
Disorot Kontras
Pengajuan Moeldoko sebagai calon tunggal Panglima TNI sempat dikritik oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Kontras mempersoalkan Presiden SBY yang hanya mengajukan satu nama.
"Dari segi hak asasi manusia dia (Moeldoko) tidak bermasalah. Artinya kita setuju saja. Tapi dalam prosesnya akan lebih baik kalau Presiden memberi variasi ke DPR," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, di kantornya, Kamis (1/8/2013), seperti diberitakan Kompas.com.
Haris mengatakan, selain Moeldoko, Presiden bisa juga mengajukan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia kepada DPR.
Dalam pengajuan itu, Presiden bisa menyampaikan siapa yang menjadi prioritas.
Jika hanya Moeldoko, kata dia, akan muncul kesan politis yang kental di mata publik.
"Yang saya khawatir sosok baik seperti Moeldoko malah masuk ke dalam bayang-bayang payung politik SBY," kata Haris.
Terkait sorotan sebagian pihak soal Operasi Sajadah yang muncul ketika Moeldoko menjabat Panglima Daerah Militer III Siliwangi, Haris mengaku sudah pernah meminta klarifikasi masalah itu kepada Moeldoko.
Penjelasan Moeldoko ketika itu, kata Haris, sebenarnya usulannya bukan Operasi Sajadah, namun Gelar Sajadah.
Usulan itu sebagai analogi untuk duduk bersama tanpa kekerasan.
Namun saat dijalankan, kata dia, dipakai sebagai pembenaran oleh sejumlah anggota TNI bersama polisi untuk menutup Masjid Ahmadiyah.
"Kita jelaskan implikasinya sudah ke mana-mana. Akhirnya mereka terima. Menurut saya dia pendengar yang baik. Setelah itu dia tidak pernah bicara soal Gelar Sajadah. Saya apresiasi itu," kata Haris.
Moeldoko Pernah Sebut SBY sebagai Senior yang Dihormati
Di awal menjabat sebagai KSP pada 2019, Moeldoko pernah menyebut SBY tidak hanya mantan atasan, tetapi juga senior yang dihormati.
"Ya, begini, dalam kehidupan itu ada senior dan atasan. Kalau atasan kita, loyality kita penuh. Tapi kalau senior, kita respect. Jadi untuk membedakan antara loyality dan respect," ujar Moeldoko dalam wawancara khusus bersama Kompas.com di Kantor KSP Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Ia menaruh hormat kepada SBY selaku senior di TNI dan pemerintahan meski pada Pilpres 2019 mereka mendukung capres yang berbeda.
"Karena kita udah tahu. Bahwa kalau kita di bawahnya pemimpin loyalitas kan harus (tinggi). Tapi senior yes, kita harus respect. Enggak boleh dikurangi. Nah itu," ujar dia.[]