GELORA.CO - Dari jajaran penyelenggara Pemilu yang ada saat ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai menjadi lembaga yang paling lemah.
Indikatornya, saat dilakukan rekapitulasi suara baik di tingkat desa maupun kabupaten dan provinsi, Bawaslu tak lebih dari sekadar penonton.
"Bawaslu itu harus jadi wasit. Wajib melakukan rekapitulasi semua tingkatan. Jadi jika ada perdebatan antara pihak Bawaslu punya data. Justru Bawaslu tidak punya data apa-apa. Saat ada perdebatan antara para saksi calon malah Bawaslu melempar semuanya ini menjadi ranah KPU. Lho ini bagaimana?" tanya Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Salim Landjar, Selasa (2/2).
Menurut Sehan, kerja Bawaslu Boltim hanya menjaga-jaga saja. Padahal, seharusnya Bawaslu tahu betul data-data pemilih. Orang-orang yang hanya menggunakan surat kependudukan dari Dukcapil yang menggunakan KTP harus diawasi, agar jangan sampai transfer orang.
"Seperti di Boltim sekitar 1.400-an itu mendapat surat keterangan kependudukan dua hari menjelang pemilu. Dan itu orang tidak jelas, tidak menggunakan KTP, seharusnya diawasi Bawaslu," jelasnya.
Lebih lanjut Sehan mengatakan, KPU juga memiliki kelemahan menggunakan data tidak akurat. Hal ini menjadi buang-buang anggaran.
"Coba dihitung per kepala berapa anggarannya. Cukup mengambil data dari pemerintah daerah lewat Dukcapil. Tidak usah buang anggaran. Tidak akurat. Bayangkan saja di Boltim sekitar 400-an tidak tercatat," ujarnya.
Sehan juga menilai ada dua tipe Bawaslu. Pertama yang tidak paham aturan tapi jadi pengawas, yang kedua turut main. Seharusnya itu yang harus dibenahi di dalam UU pemilihan kepala daerah.
Tegas Sehan, Bawaslu di beberapa daerah minta duit negara miliaran tapi tidak ada hasilnya.
"Jadi ada beberapa daerah Bawaslunya cukup bagus. Tapi banyak juga Bawaslu yang menjadi pemain dan tidak paham aturan. Tidak punya kemampuan dalam menjalankan amanat undang-undang," terangnya.
Sehan pun meminta untuk memilih anggota Bawaslu yang benar, jangan orang-orang yang tidak paham aturan.
"Banyak laporan-laporan pelanggaran dari para kandidat tidak ditindaklanjuti. Ini kan cuma dua, Bawaslu tidak paham aturan, tidak punya ketegasan atau turut bermain," cetusnya.
Sehan pun kemudian mengungkapkan lemahnya kinerja petugas Bawaslu berdasarkan pengalamannya ketika menjadi saksi langsung sebagai ketua partai dan kandidat pada Pemilu 2019.
"Saya keberatan dengan pembukaan kotak suara di kecamatan. Saya minta Bawaslu untuk memutuskan bahwa kotak suara tidak boleh dibuka. Malah Bawaslunya planga plongo, katanya itu terserah KPU," ungkapnya.
Padahal itu, tegas Sehan, sudah diatur dalam UU KPU No 7 kemudian di dalam keputusan tentang alat-alat kebutuhan Pilwali dan Pilgub sudah diatur. Kalau sampai gemboknya dibuka itu tidak sah.
"Seharusnya, Bawaslu paham hukum dan jujur. Money politic di mana-mana, Bawaslu diam," tambahnya.
Terkait perubahan UU Pilkada, Sehan menyarankan kepada pemerintah yang harus dipikirkan adalah posisi Bawaslu. Jika kinerja Bawaslu itu baik, tidak sampai ada gugatan ke MK.
Banyaknya gugatan ke MK, menurut Sehan, karena Bawaslu tidak bekerja. Bawaslu diberi kewenangan untuk komitmen memutuskan sengketa baik di tingkat PPS, PPK, tingkat Kabupaten, dan tingkat Provinsi.
"Kenapa harus di MK? Ini tandanya Bawaslu tidak maksimal. Maka saya menyarankan kepada Komisi II DPR RI dan Kemendagri yang menyusun drafnya untuk perkuat Bawaslu," tutur calon Wakil Gubernur Sulut tersebut.
Bawaslu, paparnya, harus diberikan kesempatan melakukan pengawasan dari di tingkat kecamatan, Kabupaten, hingga Provinsi.
Kemudian diberikan waktu 7 hari untuk menyelesaikan persoalan. Baik itu persoalan administrasi atau pelanggaran berat. Semua tingkat itu Bawaslu punya kewenangan untuk menertibkan.
"Karena sekarang ini hanya diberi kewenangan di tingkat kecamatan. Itu pun hanya dua hari. Setelah kabupaten/kota atau tingkat provinsi tidak mendapatkan bukti-bukti kecurangan. Jadi, itu semua harus selesai di tingkat penyelenggara tidak perlu ke MK. Maka Bawaslu harus bisa menyelesaikan persoalan, agar tidak bertele-tele. Bayangkan persoalan yang diselesaikan di MK itu bisa memakan waktu dua tiga bulan," demikian Sehan Salim Landjar. (RMOL)