Babak Baru Dugaan Penyimpangan Dana COVID Rp 150 M di Sumbar

Babak Baru Dugaan Penyimpangan Dana COVID Rp 150 M di Sumbar

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -  Kasus dugaan penyimpangan anggaran puluhan miliar rupiah yang digunakan untuk pengadaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) terus ditelusuri. Kini kasus penyelewengan dana Rp 49 miliar tersebut memasuki babak baru.

Penelusuran itu bermula dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait indikasi penyimpangan penggunaan anggaran penanganan COVID-19 yang jumlahnya mencapai Rp 150 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp 49 miliar digunakan untuk pengadaan hand sanitizer.

Menindaklanjuti temuan itu, DPRD Sumbar pun membentuk panitia khusus (pansus) COVID-19 pada 17 Februari 2021. Pansus COVID-19 juga telah melakukan pertemuan dengan Satgas Penanganan COVID-19 di Jakarta untuk melaporkan dugaan penyimpangan anggaran tersebut.


Pansus COVID-19 pun memberikan beberapa rekomendasi kepada DPRD Sumbar. Mulai dari meminta BPK mengelar audit investigasi hingga penindakan tegas kepala BPBD SUmbar.

Minta BPK Gelar Audit Investigasi Dana COVID

Pansus COVID-19 memberi rekomendasi kepada DPRD Sumbar agar meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit investigasi.

"Pansus menduga tidak tertutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi pada paket pekerjaan lainnya di BPBD. Oleh sebab itu, Pansus merekomendasikan kepada DPRD Provinsi Sumatera Barat supaya meminta BPK RI untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap paket pekerjaan yang belum sempat diperiksa oleh BPK RI perwakilan Sumatera Barat," kata Ketua Pansus COVID-19 DPRD Sumbar, Mesra, kepada wartawan, Jumat (26/2/2021).

Mesra mengungkapkan, dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK, disebutkan telah terjadi pemahalan harga pada pengadaan barang, sehingga mengakibatkan kerugian daerah hampir Rp 4,9 miliar. Pemahalan harga terjadi dalam pengadaan hand sanitizer sebesar Rp 4,8 miliar, ditambah kekurangan volume pengadaan logistik kebencanaan, seperti masker, thermo gun, dan hand sanitizer senilai Rp 63 juta.

Selain pemahalan harga, Pansus COVID-19 DPRD Sumbar juga menyebut adanya pembayaran kepada penyedia jasa yang dilakukan secara tunai. Akibatnya, sebut Mesra, ada pembayaran sebesar Rp 49,2 miliar yang tidak bisa diidentifikasi.

"Transaksi pembayaran kepada penyedia barang dan jasa menurut BPK-Ri tidak sesuai ketentuan. Bendahara dan Kalaksa BPBD melakukan pembayaran tunai kepada penyedia jasa, sehingga ini melanggar ketentuan. Akibat transaksi tunai yang itu, terindikasi potensi pembayaran sebesar Rp 49,2 miliar lebih tidak bisa diidentifikasi," ungkap Mesra.

Tindak Tegas Kepala BPBD Sumbar

Pansus COVID-19 meminta Gubernur Sumbar menindak Kepala Badan Pelaksana BPBD Sumatera Barat.


"Kami di Pansus sudah bekerja selama sepekan terakhir dan sudah sampai pada kesimpulan dan mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi diberikan kepada DPRD untuk diteruskan menjadi keputusan secara kelembagaan," kata Mesra.

Menurut Mesra, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan atas Penanganan Pandemi COVID-19 Tahun 2020 pada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, BKP-RI menemukan kerugian daerah sebanyak Rp 4,9 miliar, karena ada mark-up harga pengadaan hand sanitizer. Pansus kemudian menelusuri LHP tersebut dan masih menemukan adanya Rp 49 miliar anggaran yang tidak bisa diidentifikasi.

Karena itu, BPK kemudian merekomendasikan kepada Gubernur Sumatera Barat untuk memberi sanksi kepada Kalaksa BPBD dan pejabat atau staf lainnya yang terindikasi telah melakukan pelanggaran dalam proses pengadaan barang dan jasa.

"Namun sampai saat ini Gubernur belum menindaklanjuti rekomendasi dimaksud, padahal waktu yang diberikan sesuai dengan action plan yang dibuat oleh Gubernur adalah selama 60 hari," kata Mesra.

"Oleh karena itu, Pansus merekomendasikan kepada DPRD agar menyurati Gubernur supaya segera memproses pemberian sanksi tersebut dan segera melaporkannya kepada DPRD, di samping kepada BPK-RI Perwakilan Sumatera Barat," katanya.(dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita