GELORA.CO - Dalam pandangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bencana banjir yang terjadi khususnya di Kalimantan Selatan bukanlah bencana alam, melainkan bencana ekologis.
“Buat kami akhirnya, ini bukan bencana alam, ini bencana ekologis," tegas Eksekutif Walhi Nasional, Wahyu Perdana, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (20/1).
"Bahkan dalam konteks paling ekstrem kalau pola kebijakan dan tidak ada korektif kebijakan, konsesi dibuka masih seluas-luasnya dengan berbagai alasan, ini sama saja merencanakan bencana. Bukan sekadar bencana alam,” imbuhnya.
Menurut Wahyu, apa yang terjadi di Kalsel merupakan upaya pemerintah merencanakan bencana. Lantaran adanya UU Cipta Kerja yang menghapus batas minimun 30 persen kawasan hutan.
“Kalau merujuk ke UU Kehutanan yang kemudian dihapus batas minimumnya, itu bukan hanya kawasan hutan, tapi wilayah daerah aliran sungai itu dihilangkan. Nah, kemudian dari sisi TSN pemerintah atas nama food estate, pandemi kemudian hanya disentralisasi. Itu enggak masuk dalam argumentasi kami,” papar Wahyu.
Wahyu juga mengingatkan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan pemerintah bersalah dalam kebakaran hutan di Kalimantan Tengah pada 2019. Alih-alih menjalankan tuntutan dari citizen lawsuit, pemerintah malah mengajukan peninjauan kembali (PK).
“Padahal ini kan gugatan kewarganegaraan, atau citizen lawsuit, dia bukan minta ganti rugi tapi pemenuhan kebijakan. Di antaranya dibuka data HGU konsesi perkebunan mana, dibuka pun enggak,” sindir Wahyu.
Wahyu mengatakan, kala itu Menteri BPN, Menko PMK, Menko Perekonomian tidak mau membuka data lahan HGU konsesi lantaran akan mengakibatkan kegoncangan ekonomi.
“Kan jadi bertanya-tanya data konsensi juga justru menunjukkan transparansi yang baik. Bahkan dalam konteks yang paling pragmatis di luar konteks lingkungan, itu mengurangi risiko soal tumpang tindih lahan karena semua bisa mengakses,” urainya.
“Nah itu yang kemudian menjadi catatan penting,” pungkas Wahyu. (RMOL)