GELORA.CO - Dihidupkannya kembali Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (PAM Swakarsa) dalam salah satu program prioritas Kapolri yang baru disahkan, Listyo Sigit Prabowo, menimbulkan kontroversi. Aktivis HAM menyebut pembentukan kelompok seperti itu dapat berpotensi menjadi alat mengamankan agenda pembangunan pemerintah.
Namun, anggota DPR menyebut PAM Swakarsa tidak akan bertindak seperti era Orde Baru karena kegiatan mereka akan diawasi ketat, termasuk dari masyarakat.
Sementara, Komisi Kepolisian Nasional mengatakan keberadaan PAM Swakarsa mendesak lantaran jumlah personel polisi terbatas untuk mengatasi masalah pelanggaran hukum.
Sidang paripurna DPR mengesahkan Komjen Listyo Sigit Prabowo menjadi orang nomor satu di korps Bhayangkara, Kamis (21/1).
"Sidang dewan yang kami hormati, sekarang perkenan kami menanyakan pada sidang dewan yang terhormat, apakah laporan Komisi III DPR-RI, atas hasil uji kelayakan calon kapolri tersebut dapat disetujui?," kata Ketua DPR Puan Maharani yang dijawab "setuju!" oleh seluruh anggota DPR yang hadir.
Sehari sebelumnya, calon Kapolri Listyo menyampaikan proyeksi program kerja, salah satunya pengaktifan kembali PAM Swakarsa.
"Ke depan tentunya PAM Swakarsa harus lebih diperanktifkan dalam mewujudkan kamtibmas, jadi kita hidupkan kembali," kata Listyo dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, Rabu (20/1).
Istilah PAM Swakarsa masih melekat dalam ingatan seorang aktivis HAM dari Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Kata dia, kelompok masyarakat sipil yang dibentuk pada era kericuhan 1998, bertugas menggebuk barisan mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa MPR karena masih berisi orang-orang dari Orde Baru.
Panglima ABRI kala itu, Jenderal TNI Wiranto, menyatakan, kehadiran PAM Swakarsa dibutuhkan untuk mengamankan SI MPR dari pihak-pihak yang ingin menggagalkannya.
Usman Hamid mengatakan, PAM Swakarsa versi Kapolri Listyo masih terlalu dini untuk difungsikan seperti era Orde Baru, tapi berpotensi menjadi alat kepentingan partisan dari pemerintah yang berkuasa.
"Saya kira memang mengamankan agenda pembangunan yang menjadi obsesi kepemimpinan Jokowi, dan yang kedua membangun stabilitas politik, sehingga tidak terjadi apa yang mereka sebut sebagai kegaduhan atau apapun," kata Usman kepada BBC News Indonesia, Kamis (21/01).
Namun kekhawatiran ini ditampik anggota Komisi Hukum DPR dari PDI Perjuangan, Safaruddin. Menurutnya, PAM Swakarsa tak akan bertindak seperti era Orde Baru karena kegiatan mereka akan diawasi ketat, termasuk dari masyarakat.
"Artinya PAM Swakarsa mau dikendalikan seperti apa nggak bisa. Ya memang murni untuk membantu melaksanakan keamanan. Artinya, kamtibmas, agar keamanan dan ketertiban terpelihara sehingga wujudnya kedamaian," kata Safaruddin kepada BBC News Indonesia, Kamis (20/01).
Safaruddin menambahkan, dengan PAM Swakarsa, kepolisian bisa menghemat anggaran sekaligus dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat.
Sementara itu, anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mengatakan keberadaan PAM Swakarsa mendesak lantaran jumlah personel polisi yang terbatas untuk mengatasi masalah pelanggaran hukum.
"Polisi itu jumlah 470.000 seluruh Indonesia. Meskipun dilengkapi CCTV atau teknologi yang lebih bisa membantu polisi, tapi jumlahnya tetap saja kurang dibandingkan dengan luas geografis dan jumlah penduduk," kata Poengky.
Ia juga mengatakan, PAM Swakarsa yang saat ini di bawah binaan kepolisian lebih menekankan keamanan dalam lingkungan tertentu dengan melibatkan Satpam dan Sitkamling (Satuan keamanan lingkungan).
"Seperti misalnya, satpam di lingkungan kompleks seperti mal, pabrik, dan itu kan memang sudah dari dulu. Bukan satu masalah baru yang digunakan seperti '98. Bukan, itu kan ada konflik-konflik politik terkait dengan itu. Nggak ada kaitannya dengan masalah keamanan," lanjut Poengky.
Kepolisian sendiri belum menjawab pertanyaan terkait tujuan dari pembentukan PAM Swakarsa.
Estafet dari era Kapolri Idham Azis
Kepolisian sebenarnya sudah mengesahkan PAM Swakarsa sejak era Kapolri Idham Azis melalui Peraturan Kepolisian No. 4 Tahun 2020 tentang PAM Swakarsa. Aturan ini turunan dari Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.
Aturan yang diteken Agustus 2020 lalu, menyebut tugas PAM Swakarsa untuk memenuhi rasa aman dan nyaman di suatu lingkungan. Mereka yang direkrut adalah satpam, satuan keamanan lingkungan dan kelompok masyarakat.
Satu bulan setelah aturan ini diteken, kepolisian dan TNI kemudian melibatkan preman untuk menjadi petugas pengawas protokol kesehatan di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, seperti diberitakan sejumlah media. Namun, preman-preman itu diminta bertindak tegas tapi dengan cara persuasif dan humanistis.
Peneliti dari Kontras Rivanle Anandar menilai pelibatan tersebut sebagai pra kondisi dari aturan PAM Swakarsa. "Itu sudah jadi pra kondisi untuk mengaktifkan PAM Swakarsa dengan melibatkan preman-preman untuk Covid yang mana itu nggak efektif," katanya.
Rivanle khawatir jika PAM Swakarsa ini dilekatkan dengan agenda pemerintah, maka ke depan kebebasan sipil akan terancam karena dihadapkan kelompok-kelompok yang sudah disiapkan untuk menghadapi kritik dari masyarakat.
"Arahnya, negara menggunakan pendekatan keamanan untuk memuluskan narasi tunggalnya saja, sehingga menutup ruang kritik atau saran dari masyarakat sipil terhadap kebijakan-kebijakan yang kontroversial," kata Rivanle.
Seperti apa PAM Swakarsa saat 1998?
Saat masih berstatus mahasiswa yang ikut gerakan reformasi, Usman Hamid memantau pembentukan PAM Swakarsa pada September 1998. Kemunculan PAM Swakarsa bersamaan dengan akan diadakannya Sidang Istimewa (SI) MPR 1998.
Kelompok ini menggunakan "dua tameng" yaitu nasionalis dan Islam.
"Waktu itu sasarannya adalah kami, gerakan mahasiswa, yang dituduh antinasionalis atau antikebangsaan dan didanai oleh asing, serta anti terhadap pemerintah," kata Usman.
Saat itu, narasi yang dibentuk oleh PAM Swakarsa adalah kedekataan Soeharto dan Habibie dengan para kyai.
Narasi tersebut disiarkan melalui orasi-orasi, selebaran agitasi, termasuk melalui masjid, yang isinya menuduh gerakan mahasiswa sebagai antiIslam dan antinasionalis.
"Salah satu mereka menjelaskan itu, karena kami sering berkumpul di Atmajaya, yang merupakan Universitas Katolik," lanjut Usman.
PAM Swakarsa, kenang Usman, juga menarasikan Universitas Trisakti membawa misi kristenisasi, "yang anti terhadap pemerintahan Islam".
"Tapi saat itu kan sulit membantah karena jangkauan komunikasi yang sangat terbatas, dan tidak benar. Karena kami sering berkumpul di Atmajaya itu, lebih karena kedekatan geografis dengan Gedung DPR/MPR. Kami ingin mengulangi Kembali pendudukan DPR/MPR seperti pada bulan Mei," kata Usman.
Ia juga mengutarakan kebanyakan pimpinan gerakan mahasiswa merupakan ketua rohis. "Nah, saya ketua Studi Pendalaman Islam Fakultas Hukum," kata Usman.
"Jadi, dari mulai mendiskreditkan lewat selebaran, sampai menyerang secara fisik melalui kelompok-kelompok PAM Swakarsa."
PAM Swakarsa beberapa kali bentrok dengan masyarakat, atau mahasiswa. Mereka disebut kerap membawa bambu runcing, samurai dan batang besi saat menggelar aksi.
"Jadi kelompok-kelompok ini merupakan alat pemukul dari pemerintahan ketika itu, yang ingin mempertahankan kekuasaan. Jadi, alat gebuk," kata Usman. (*)