GELORA.CO - Abu Bakar Ba'asyir akan bebas pada pekan ini. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) menyebut terpidana kasus terorisme itu akan bebas murni.
"Bebas secara murni," ujar Kepala Kantor Kemenkum HAM Jabar Imam Suyudi di kantornya, Jalan Jakarta, Kota Bandung, Senin (4/1/2021).
Imam mengatakan pendiri pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki Sukoharjo itu akan bebas pada Jumat 8 Januari 2021 dari Lapas Gunung Sindur, Bogor. Tak ada persyaratan yang harus ditempuh Abu Bakar usai menjalani hukuman selama 15 tahun.
"Jadi tidak ada persyaratan khusus, kalau dia pembebasan murni," tuturnya.
Kendati demikian, Imam menyebut Abu Bakar sempat mendapatkan remisi. Total remisi yang didapat Abu Bakar Ba'asyir sebanyak 55 bulan.
"Kalau remisi itu hak. Mereka tetap mendapatkan," kata dia.
Menilik ke belakang, pembebasan Abu Bakar Ba'asyir sempat ditarik ulur pada tahun 2019 silam. Saat itu, Presiden Jokowi sempat akan membebaskan Ba'asyir dengan alasan kemanusiaan.
Jokowi awalnya menyatakan sudah memberi izin pembebasan terpidana kasus terorisme tersebut. Salah satu pertimbangan Jokowi adalah faktor kemanusiaan mengingat usia dan kondisi kesehatan Ba'asyir.
"Faktor kemanusiaan. Artinya, beliau sudah sepuh. Ya faktor kemanusiaan, termasuk kondisi kesehatan," kata Jokowi di Pondok Pesantren Darul Arqam, Jl Ciledug, Garut, Jawa Barat, Jumat (18/1/2019).
Dia menyatakan keputusan itu diambil berdasarkan pertimbangan yang panjang, mulai sisi keamanan hingga kesehatan Ba'asyir. Jokowi juga menegaskan pertimbangan itu dilakukan dengan mendengarkan masukan berbagai pihak, termasuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Menko Polhukam Wiranto, dan pakar hukum Yusril Ihza Mahendra.
"Ini pertimbangan yang panjang, pertimbangan sisi keamanan dengan Kapolri, pakar, dan terakhir dengan Pak Yusril," katanya.
Akan tetapi pembebasan bersyarat Abu Bakar Ba'asyir dikaji ulang. Aturan pembebasan bersyarat, menurut Jokowi, harus ditempuh. Jokowi tak mau menabrak sistem hukum. Adapun aturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yang di dalamnya disebutkan terpidana kasus terorisme yang mendapatkan bebas bersyarat salah satunya harus menyatakan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Kalau masa ini ada sistem hukum, ada mekanisme hukum yang harus kita tempuh, saya justru nabrak, kan nggak bisa. Apalagi ini situasi yang basic. Setia pada NKRI, setiap pada Pancasila," ujarnya.
Sementara itu, Ba'asyir, yang sebetulnya sudah melewati masa dua pertiga hukuman, tidak mengajukan bebas bersyarat. Hal itu disebabkan Ba'asyir tidak mau setia kepada NKRI.
Tim Pengacara Muslim (TPM) lantas menjelaskan alasan Ba'asyir menolak menandatangani dokumen untuk pembebasan bersyarat. Dokumen itu di antaranya berisi pengakuan tindak pidana, padahal Ba'asyir, menurut TPM, menegaskan tidak melakukan apa yang didakwakan.
"Dokumen itu macam-macam. Yang paling penting adalah dokumen untuk berjanji tidak akan melakukan tindak pidana yang dilakukannya," kata Ketua Dewan Pembina TPM Mahendradatta di kantornya, Jalan Raya Fatmawati, Cipete Selatan, Jakarta Selatan, Senin (21/1).
Mahendradatta juga menjelaskan alasan Ba'asyir menolak meneken ikrar setia kepada NKRI. Ba'asyir, menurut Mahendradatta, tak perlu meneken setia kepada Pancasila karena sudah setia pada Islam.
"Pembicaraannya begini, 'Ustaz, kalau ini kok nggak mau tanda tangan, kalau Pancasila itu sama dengan bela Islam'. 'Lo kalau gitu sama dengan Pancasila, kenapa saya nggak bela Islam saja, kan sama saja. Jadi belum sampai ke argumen yang meyakinkan Ustaz. Kalau hal yang sama, kenapa saya tidak menandatangani yang satu, tidak boleh yang dua.' Itu hanya sebagai kepolosan saja yang saya bilang," ujar Mahendradatta.[dtk]