GELORA.CO - Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono prihatin dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang rentan perpecahan.
“Terus terang, ada kekhawatiran saya yang mendalam menyangkut kehidupan bermasyarakat dan berbangsa akhir-akhir ini, khususnya berkaitan dengan kerukunan masyarakat atau harmoni sosial yang, menurut saya, terasa retak dan jauh dari semangat persaudaraan kita sebagai bangsa,” tulis SBY di akun Facebook-nya yang dikutip, Jumat, 8 Januari 2021.
“Bermula dari dinamika politik pada Pilkada Jakarta tahun 2017, sepertinya dalam kehidupan masyarakat kita terbangun jarak dan pemisah yang semestinya tak terjadi. Terbangun polarisasi yang tajam di antara kita, baik karena faktor identitas, politik maupun ideologi. Sepertinya masyarakat kita harus dibelah dua--kita dan mereka, bahkan, 'kita lawan mereka'.”
Sebagian dari masyarakat, katanya, menganggap mereka yang tidak sama identitasnya, agama misalnya, partai politiknya, dan juga garis ideologinya adalah lawan. Untuk bicara pun merasa tidak nyaman. Garis permusuhan bahkan menembus lingkaran persahabatan yang sudah terbangun lama, bahkan lingkaran-lingkaran keluarga.
“Saya sungguh prihatin jika lingkaran tentara dan polisi yang harusnya menjadi contoh dalam persatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa juga tak bebas dari hawa permusuhan ini. Keadaan ini sungguh menyedihkan dan sekaligus membahayakan masa depan bangsa kita,” tulisnya.
Atas keluhan itu, SBY mengisahkan apa yang ia alami di tahun 1964-1965 (saat masih bersekolah di SMA). Masyarakat kita, bahkan hingga tingkat grassroots, terbelah karena faktor politik dan ideologi.
Polarisasi sosial tajam. Pelajar, mahasiswa, pemuda, guru, buruh, petani dan sejumlah elemen masyarakat terbelah. Bahkan berhadap-hadapan.
“Faktor inilah yang barangkali setelah terjadi Gerakan 30 September 1965, yang berdarah dulu; kekerasan terjadi di seluruh Tanah Air dengan korban jiwa yang cukup besar."
Di masa yang berbeda, ia juga memiliki banyak pengalaman ketika ikut menyelesaikan konflik komunal yang berbasiskan identitas di berbagai daerah. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
“Saya juga turun ke lapangan untuk menyelesaikan konflik horizontal pasca krisis 1998, khususnya di Sampit, Poso, Ambon dan Maluku Utara. Untuk mengakhiri benturan dan kekerasan saja memerlukan waktu tiga-empat tahun. Belum fase rekonsiliasi dan trust building yang juga memakan waktu yang lama. Masyarakat lokal saya yakini tahu bahwa korban jiwa dan kerusakan harta benda juga cukup besar,” paparnya.
Kini, jika polarisasi antarkubu politik sangat tajam, kehidupan demokrasi pasti tidak sehat. Memilih kandidat dan calon-calon pemimpin, baik di pusat maupun daerah, akan sangat dipengaruhi dan bahkan ditentukan apakah mereka memiliki identitas, paham ideologi dan politik yang sama.
Di sisi lain, SBY mengingatkan, jangan pula ada yang justru menginginkan dan memelihara polarisasi sosial-politik yang tajam untuk kepentingan pribadi dan politiknya. Kalau ada pihak-pihak yang berpikiran dan bertindak seperti itu, menurutnya, mereka bukan hanya tidak bertanggung jawab tetapi juga tidak bermoral.
“Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang sudah benar-benar terbelah dan terpolarisasi secara tajam, sangat tidak mudah untuk menyatukannya kembali,” katanya. []